Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai momentum untuk menghargai perjuangan dan kontribusi para pekerja dalam membangun peradaban. Pada tahun 2025, peringatan Hari Buruh datang di tengah dinamika global yang terus berubah—mulai dari kemajuan teknologi, transformasi dunia kerja, hingga isu kesejahteraan buruh yang belum tuntas. Di tengah tantangan dan harapan tersebut, Hari Buruh 2025 menjadi ajang refleksi bersama: sejauh mana hak-hak pekerja telah ditegakkan, dan ke mana arah masa depan ketenagakerjaan Indonesia dan dunia akan bergerak.
Latar Belakang Sejarah Hari Buruh
Hari Buruh Internasional berakar dari perjuangan kelas pekerja di abad ke-19, terutama di Amerika Serikat, yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Aksi besar-besaran dan pengorbanan buruh dalam peristiwa Haymarket di Chicago tahun 1886 menjadi titik balik dalam gerakan buruh global. Di Indonesia sendiri, Hari Buruh mulai diakui sebagai hari libur nasional sejak tahun 2014, menandai pengakuan simbolik terhadap pentingnya peran buruh dalam pembangunan bangsa.
Isu Ketenagakerjaan yang Masih Mengemuka
Memasuki tahun 2025, sejumlah isu klasik masih menghantui dunia ketenagakerjaan. Masalah upah minimum yang belum merata, kontrak kerja yang tidak berpihak pada buruh, hingga minimnya jaminan sosial bagi pekerja informal menjadi tantangan utama. Di sisi lain, muncul pula tantangan baru berupa otomatisasi dan digitalisasi yang mengancam posisi tenaga kerja manual. Banyak pekerja terjebak dalam posisi rentan—berhadapan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan minim perlindungan hukum.
Solidaritas Pekerja di Era Modern
Meskipun tantangan semakin kompleks, gerakan buruh tetap menunjukkan daya hidupnya. Serikat pekerja di berbagai sektor kini tak hanya bergerak di jalanan, tetapi juga aktif memperjuangkan hak melalui jalur hukum, advokasi kebijakan, dan kampanye digital. Solidaritas antarpekerja lintas sektor dan lintas daerah menjadi kekuatan baru yang mendorong perubahan. Semangat kolektif ini terbukti mampu mengawal isu-isu strategis, mulai dari penolakan terhadap UU Cipta Kerja, hingga advokasi terhadap sistem jaminan sosial yang lebih inklusif.
Di indonesia sendiri, terdapat federasi serikat pekerja bernama Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia atau yang disingkat FSPMI, Serikat Pekerja Sejahtera Indonesia (SPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan masih banyak lagi. organisasi/Federasi diatas telah banyak membantu mengadvokasikan Hak Hak para pekerja dan membela kaum buruh di seluruh indonesia.
Peran Pemerintah dan Harapan Kebijakan
Pemerintah memiliki tanggung jawab sentral dalam menciptakan ekosistem kerja yang adil dan manusiawi. Di tengah desakan masyarakat sipil, kebijakan ketenagakerjaan harus lebih berpihak pada perlindungan pekerja, bukan semata mendukung kepentingan industri. Langkah-langkah seperti revisi regulasi ketenagakerjaan yang tidak pro-buruh, peningkatan pengawasan terhadap pelanggaran hak pekerja, serta penguatan sistem jaminan sosial nasional menjadi kebutuhan mendesak. Terlebih dalam era pasca-pandemi, perhatian pada buruh sektor informal dan pekerja migran juga tidak boleh diabaikan.
Penutup
Hari Buruh 2025 bukan hanya ajang peringatan, tetapi juga undangan untuk merenung dan bertindak. Ini adalah kesempatan bagi semua pihak—pemerintah, pengusaha, serikat pekerja, dan masyarakat—untuk bersama-sama membangun sistem ketenagakerjaan yang berkeadilan. Sebab, kesejahteraan buruh bukan hanya urusan buruh semata, tetapi fondasi bagi kemajuan ekonomi dan martabat kemanusiaan itu sendiri.