Jakarta, 23 Mei 2025 – Indonesia dikejutkan oleh terungkapnya komunitas daring dengan nama “Fantasi Sedarah” yang beroperasi melalui platform Facebook. Grup tersebut diketahui menjadi wadah penyebaran konten inses dan fantasi seksual menyimpang, dan sempat memiliki lebih dari 30.000 anggota sebelum akhirnya ditindak tegas oleh aparat kepolisian dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Grup ini bukan sekadar forum biasa. Berdasarkan hasil penyelidikan, komunitas tersebut telah aktif sejak Agustus 2024 dan terus berkembang pesat dalam jumlah anggota. Mereka saling berbagi konten vulgar, mengandung unsur kekerasan seksual berbasis keluarga, dan mempromosikan hubungan sedarah sebagai fantasi. Fakta ini menimbulkan kecemasan publik yang luas akan maraknya penyimpangan digital yang mengancam nilai-nilai sosial dan perlindungan anak.
Kepolisian melalui Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, berkoordinasi dengan jajaran Siber Polda Metro Jaya, bergerak cepat setelah grup tersebut viral di media sosial. Dalam waktu singkat, mereka berhasil membongkar jaringan pengelola grup dan menangkap enam pelaku utama. Salah satu tersangka diketahui berinisial MR, pemuda asal Bandung, yang diyakini sebagai pendiri dan pengelola utama grup “Fantasi Sedarah”.
Dalam penggeledahan, aparat menyita berbagai barang bukti seperti komputer, ponsel, dokumen digital, serta file gambar dan video yang digunakan untuk menyebarkan konten menyimpang. Lebih mengkhawatirkan lagi, polisi menyebut bahwa ada korban nyata dalam kasus ini, termasuk tiga anak dan satu orang dewasa yang teridentifikasi telah menjadi korban eksploitasi seksual dari jaringan ini.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengecam keras kasus ini. Menurut pihak kementerian, keberadaan grup seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam moralitas bangsa dan keselamatan anak-anak. Kementerian mendesak aparat untuk memberikan hukuman maksimal kepada para pelaku serta memperluas investigasi agar jaringan serupa dapat dibongkar.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga mengambil langkah tegas dengan memblokir tidak hanya grup ini, tetapi juga lima grup serupa yang beroperasi di Facebook. Komdigi menegaskan bahwa mereka akan terus memperkuat pengawasan terhadap konten digital menyimpang serta mempercepat pelaporan konten berbahaya oleh masyarakat.
Kasus ini menjadi cermin buram dari rendahnya literasi digital sebagian masyarakat. Konten berbahaya seperti yang tersebar di grup “Fantasi Sedarah” bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat karena minimnya pemahaman akan batas-batas etika, norma hukum, dan risiko nyata yang ditimbulkan oleh dunia maya. Terlebih lagi, algoritma media sosial kerap kali memperkuat penyebaran konten ekstrem bila tidak segera ditangani.
Sosiolog dan pakar media digital menyebut bahwa komunitas daring semacam ini muncul karena adanya celah dalam pengawasan digital dan lemahnya regulasi terhadap platform teknologi asing. Mereka mendesak kolaborasi lebih intensif antara pemerintah, platform media sosial seperti Meta (induk Facebook), dan masyarakat pengguna untuk membasmi ekosistem digital yang berbahaya.
Ke depannya, pemerintah diminta untuk tidak hanya bertindak reaktif. Upaya pencegahan seperti edukasi literasi digital di sekolah, pelatihan keamanan digital kepada orang tua, dan sistem pelaporan yang mudah serta responsif harus diperkuat. Selain itu, peran keluarga dan komunitas dalam mendidik nilai moral menjadi tembok pertama dalam mencegah penyimpangan sosial.
Kasus “Fantasi Sedarah” adalah peringatan keras bahwa dunia maya bukan ruang netral. Ia bisa menjadi tempat tumbuhnya ide-ide gelap bila tak dikawal dengan aturan, etika, dan pengawasan kolektif. Dengan kerja sama semua pihak—dari regulator, penegak hukum, hingga pengguna media sosial—dunia digital Indonesia diharapkan bisa menjadi ruang yang aman, sehat, dan bermartabat.