Mahasiswa UI Cho Yong Gi Ditetapkan Tersangka Usai Jadi Tim Medis dalam Aksi May Day

Jakarta – Aksi peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 1 Mei 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI menyisakan persoalan serius bagi gerakan sipil, setelah salah satu peserta aksi, Cho Yong Gi, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Cho, yang diketahui bertugas sebagai tim medis dalam unjuk rasa tersebut, ditangkap bersama belasan orang lainnya saat situasi demonstrasi memanas.

Cho Yong Gi adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Filsafat di UI. Pada hari berlangsungnya aksi, ia hadir sebagai bagian dari kelompok relawan medis—bukan demonstran. Mengenakan atribut dan membawa perlengkapan medis lengkap, ia menjalankan tugasnya untuk memberi bantuan kepada peserta aksi yang membutuhkan pertolongan. Namun, ketika kericuhan terjadi di area Gedung DPR, aparat keamanan melakukan penyisiran dan menangkap sejumlah orang, termasuk Cho.

Menurut pengakuan Cho dalam wawancaranya, ia bersama rekan-rekan medis awalnya hendak meninggalkan lokasi setelah aksi selesai. Namun, mereka mendengar kabar bahwa masih ada peserta yang mengalami luka dan membutuhkan pertolongan. Dengan niat membantu, mereka kembali ke lokasi. Justru pada saat itu, ia dan beberapa rekannya ikut diseret oleh aparat, meskipun sudah menunjukkan identitas dan peralatan medis yang mereka bawa.

“Waktu kami kembali, situasi sudah ricuh. Saya ditangkap, bahkan sempat mengalami tindakan kekerasan meskipun sudah mengatakan bahwa saya dari tim medis,” ujar Cho dalam keterangannya kepada media.

Penetapan status tersangka terhadap Cho sontak menuai reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan akademisi. Ketua Program Studi Ilmu Filsafat UI, Ikhaputri Widiantini, menyampaikan keprihatinan mendalam atas peristiwa yang menimpa mahasiswanya. Pihak kampus, kata dia, siap memberikan pendampingan akademik, moral, dan hukum kepada Cho, serta mendesak agar proses hukum berjalan adil dan transparan.

“Kami melihat ada pelanggaran terhadap hak-hak dasar, terutama hak untuk memberikan bantuan medis dan kebebasan sipil. Ini bukan hanya soal Cho, tetapi soal jaminan perlindungan terhadap warga sipil dalam menyampaikan aspirasi,” ujarnya.

Kasus Cho Yong Gi menambah deretan kekhawatiran atas pembatasan kebebasan berpendapat dan aksi unjuk rasa damai di Indonesia. Penangkapan terhadap relawan medis memunculkan pertanyaan besar tentang prosedur penanganan aksi massa oleh aparat serta jaminan perlindungan hukum bagi individu yang menjalankan peran kemanusiaan dalam demonstrasi.

Lembaga-lembaga bantuan hukum dan organisasi masyarakat sipil kini turut mengawal kasus ini, menekankan pentingnya perlindungan bagi tim medis sipil di lapangan. Banyak dari mereka menilai bahwa tindakan represif terhadap relawan seperti Cho bisa mengancam ruang demokrasi dan memperburuk iklim kebebasan sipil di tanah air.

Sementara itu, Polda Metro Jaya hingga kini belum memberikan penjelasan rinci terkait dasar penetapan tersangka terhadap Cho, meskipun tekanan publik untuk menjelaskan motif dan alat bukti yang digunakan terus meningkat.

Penanganan kasus ini akan menjadi cermin bagaimana aparat penegak hukum merespons kritik, menjaga netralitas, serta melindungi hak-hak dasar warga negara. Apakah hukum ditegakkan demi keadilan atau justru untuk menekan ruang kebebasan? Jawaban atas pertanyaan itu tengah ditunggu publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to top