21 Tahun Kepergian Munir: Luka Lama yang Belum Sembuh dalam Sejarah HAM Indonesia

21 Tahun Kepergian Munir: Luka Lama yang Belum Sembuh dalam Sejarah HAM Indonesia
Jakarta, 7 September 2025 — Hari ini menandai tepat 21 tahun wafatnya Munir Said Thalib, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang meninggal secara tragis dalam penerbangan Garuda Indonesia GA-974 menuju Amsterdam pada 7 September 2004. Nama Munir bukan hanya sekadar catatan sejarah, melainkan simbol perjuangan panjang melawan ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Dua dekade lebih berlalu, kasus kematian Munir masih menjadi luka mendalam sekaligus pengingat bahwa kebenaran dan keadilan belum sepenuhnya ditegakkan.
Munir, Suara Bagi yang Terbungkam
Munir dikenal sebagai sosok yang vokal membela hak-hak korban pelanggaran HAM, mulai dari kasus penculikan aktivis 1998, kekerasan di Aceh, hingga tragedi Timor Timur. Baginya, membela HAM bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hidup. Keberanian Munir dalam bersuara membuatnya dihormati sekaligus ditakuti, bahkan oleh mereka yang berkepentingan menjaga kekuasaan tetap aman dari kritik.
Dalam banyak kesempatan, Munir selalu menekankan bahwa negara tidak boleh berdiam diri ketika rakyatnya menjadi korban kekerasan atau kehilangan hak-haknya. Sikap tegas inilah yang membuatnya menjadi panutan generasi muda pegiat HAM, namun juga membuatnya berhadapan dengan banyak pihak yang tidak senang dengan sepak terjangnya.
Tragedi di Udara
Tragedi Munir bermula ketika ia menumpangi pesawat Garuda Indonesia dengan rute Jakarta–Amsterdam, singgah di Singapura, pada 7 September 2004. Dalam perjalanan, Munir jatuh sakit dan kemudian meninggal sebelum pesawat mendarat di Belanda. Hasil autopsi dari otoritas Belanda menunjukkan adanya arsenik dalam tubuh Munir dalam jumlah yang mematikan. Sejak saat itu, publik yakin bahwa kematian Munir bukanlah peristiwa biasa, melainkan pembunuhan terencana.
Proses Hukum yang Berliku
Setelah kematian Munir, proses hukum memang berjalan, namun dinilai banyak pihak tidak menyentuh aktor-aktor utama. Beberapa pihak sempat diadili, termasuk pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang dihukum karena keterlibatannya. Namun, hingga kini, siapa dalang utama di balik kematian Munir masih menjadi misteri. Komisi Independen untuk Kasus Munir (Tim Pencari Fakta) pernah dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi rekomendasinya tidak seluruhnya ditindaklanjuti.
Banyak aktivis HAM menilai, lambannya penuntasan kasus Munir mencerminkan lemahnya keberanian negara menghadapi pihak-pihak yang kuat dan berpengaruh. Hingga kini, tuntutan agar negara membuka kembali penyelidikan kasus Munir terus bergema setiap tahun, terutama pada momentum peringatan kematiannya.
21 Tahun Berlalu, Suara Keadilan Tak Pernah Padam
Memasuki 21 tahun peristiwa ini, berbagai kelompok masyarakat, mulai dari organisasi HAM, mahasiswa, hingga komunitas sipil, kembali menggelar aksi mengenang Munir. Mereka membawa poster bergambar wajah Munir, menyalakan lilin, dan meneriakkan satu kalimat yang terus diwariskan dari generasi ke generasi: “Munir hidup, suaranya tak pernah mati.”
Aksi ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan bentuk perlawanan terhadap lupa. Sebab, banyak pihak khawatir kasus Munir bisa tenggelam dalam arus pergantian zaman jika tidak terus disuarakan. Bagi mereka, melupakan Munir berarti mengkhianati nilai-nilai perjuangan yang ia tanamkan.
Munir sebagai Simbol Perjuangan
Munir kini dikenang bukan hanya sebagai individu, melainkan simbol perlawanan terhadap kejahatan negara. Nama dan wajahnya sering muncul dalam mural, buku, film dokumenter, hingga ruang diskusi tentang demokrasi. Ia menjadi ikon bahwa keberanian berbicara untuk kebenaran adalah hal yang tidak bisa dimatikan, sekalipun tubuhnya telah tiada.
Di usia 21 tahun sejak kepergiannya, generasi muda aktivis HAM terus mewarisi semangat Munir. Mereka menjadikan kasus ini sebagai bahan pembelajaran bahwa perjuangan menegakkan HAM di Indonesia masih panjang dan penuh tantangan.
Penutup
Dua puluh satu tahun telah berlalu, tetapi pertanyaan mendasar masih menggantung: siapa dalang sebenarnya di balik pembunuhan Munir? Sejauh ini, negara belum mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Namun, di tengah ketidakpastian itu, satu hal yang pasti: nama Munir Said Thalib akan selalu hidup dalam ingatan rakyat Indonesia, sebagai simbol keberanian, keadilan, dan perjuangan yang tak mengenal takut.