Revisi UU Kehutanan Diharapkan Jadi Titik Balik Perlindungan Hutan Alam dan Hak Masyarakat Adat

Jakarta, Juli 2025 — Rencana pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menuai respons serius dari berbagai pihak, khususnya kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat adat. Mereka mengingatkan agar revisi undang-undang ini tidak hanya menjadi formalitas atau memperkuat kontrol negara semata, tetapi justru menjadi momentum untuk memperbaiki pengelolaan hutan yang lebih adil, inklusif, dan berorientasi pada keberlanjutan ekosistem hutan Indonesia.
Salah satu sorotan utama adalah keberadaan sekitar 42 juta hektare tutupan hutan alam yang hingga kini tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IV DPR. Timer menekankan bahwa pembaruan regulasi kehutanan harus menyesuaikan dengan kenyataan ekologi dan sosial di lapangan.
Ia menegaskan, “Terlalu lama negara berfokus pada status kawasan hutan, sementara kenyataannya banyak tutupan hutan justru berada di luar kawasan resmi dan rentan dialihfungsikan.” Oleh karena itu, Timer mendorong agar revisi UU tersebut mengadopsi pendekatan ekologis dan berbasis wilayah kelola rakyat, bukan hanya klasifikasi administratif.
Para aktivis lingkungan seperti Muhamad Burhanudin dari Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) dan Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia menyebut bahwa UU Kehutanan lama masih terjebak dalam paradigma kolonial—di mana negara menjadi satu-satunya pengelola dan penentu nasib hutan, tanpa mempertimbangkan hak dan kearifan lokal masyarakat adat.
Keduanya sepakat bahwa model pengelolaan ini telah terbukti menimbulkan konflik tenurial, maraknya deforestasi, serta penyingkiran komunitas adat dari tanah kelahirannya. Dalam diskusi publik di Bogor, mereka mengingatkan bahwa jika revisi ini tidak dilakukan secara partisipatif, maka besar kemungkinan akan menjadi payung hukum baru bagi legalisasi alih fungsi hutan, terutama untuk proyek food estate, perkebunan sawit, dan tambang.
Berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak agar revisi UU Kehutanan:
- Mendorong desentralisasi pengelolaan hutan, sehingga pemerintah daerah dan komunitas lokal memiliki kewenangan mengelola hutan secara lestari.
- Mengakui keberadaan dan hak masyarakat adat, sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
- Mewajibkan PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) dalam setiap proses perizinan usaha di wilayah hutan adat.
- Menetapkan batas minimal 30% tutupan hutan di tiap pulau atau daerah aliran sungai (DAS) sebagai ambang batas ekosistem.
Tak sedikit kekhawatiran muncul bahwa jika revisi dilakukan secara tertutup dan hanya menguntungkan pihak tertentu, maka kriminalisasi petani, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan akan terus terjadi. Banyak pihak menuntut agar draf revisi dibuka ke publik dan disusun dengan melibatkan masyarakat sipil secara aktif.
Menurut Koalisi Pemantau Sumber Daya Alam, revisi harus menjadi jalan untuk mencegah penggundulan hutan, memperkuat pengawasan terhadap pembalakan liar, dan menghentikan pemberian izin tambang dan kebun di kawasan konservasi.
Revisi UU Kehutanan yang ideal bukan sekadar merapikan regulasi, tetapi menyusun ulang hubungan antara manusia dan hutan. Negara harus berpindah dari paradigma kontrol menjadi paradigma kolaborasi—dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pelestarian alam.
Ini adalah ujian besar bagi pemerintah dan DPR: apakah mereka akan mendengarkan suara rakyat dan komunitas adat, atau justru menyerahkan hutan Indonesia kepada kepentingan bisnis jangka pendek?