MK Tegaskan Capres-cawapres Tidak Harus Lulusan Sarjana

0
38

Jakarta, Juli 2025 — Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan judicial review terkait syarat pendidikan minimal bagi calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh sekelompok warga. Gugatan tersebut meminta agar syarat pendidikan calon pemimpin bangsa diubah dari minimal lulusan sekolah menengah atas (SMA) menjadi lulusan pendidikan tinggi (sarjana/S1). Namun, MK berpendapat bahwa permintaan tersebut tidak berdasar secara konstitusional.

Dalam sidang putusan yang digelar pada pekan ketiga Juli 2025, MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf r Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden cukup berpendidikan paling rendah SMA atau yang sederajat tetap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia harus tetap inklusif dan terbuka bagi seluruh warga negara, terlepas dari latar belakang pendidikan formalnya. Hak untuk dipilih sebagai pemimpin nasional tidak boleh dibatasi hanya kepada mereka yang memiliki gelar sarjana.

“Penambahan syarat pendidikan tinggi justru akan mencederai prinsip kesetaraan dan membuka peluang diskriminasi politik,” demikian bunyi salah satu pertimbangan hakim konstitusi dalam sidang yang terbuka untuk umum.

MK juga menyatakan bahwa pengajuan syarat tambahan seperti gelar sarjana adalah bagian dari open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Mahkamah tidak memiliki ruang untuk mencampuri kebijakan yang bersifat terbuka dan bersandar pada kebijakan hukum pembentuk UU.

Putusan ini langsung menuai berbagai reaksi dari publik dan tokoh politik. Salah satunya, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, yang menyambut baik keputusan MK. Ia menilai bahwa pendidikan formal memang penting, namun bukan satu-satunya tolok ukur kelayakan seorang pemimpin.

“Konstitusi tidak pernah mensyaratkan capres harus lulusan sarjana. Bahkan, guru SD saja memiliki syarat ijazah. Maka, ini justru menunjukkan bahwa pendidikan politik masyarakat dan integritas lebih penting daripada gelar akademik semata,” ujarnya dalam konferensi pers.

Namun di sisi lain, beberapa kalangan akademisi menilai bahwa keputusan ini seharusnya diiringi dengan penguatan sistem seleksi partai politik. Mereka mendorong agar partai lebih selektif dalam memilih kandidat yang benar-benar layak, memiliki kompetensi, serta rekam jejak yang jelas.

Beberapa pihak juga menyuarakan kekhawatiran bahwa tanpa batasan pendidikan formal, ruang terbuka bagi calon pemimpin yang tidak memiliki kemampuan manajerial atau pemahaman konstitusional yang memadai. Namun MK menekankan bahwa kompetensi calon tidak harus hanya diukur melalui ijazah, melainkan juga dari pengalaman, integritas, serta kemampuan komunikasi dan kepemimpinan.

Dalam konteks sistem demokrasi, kepercayaan tetap diberikan kepada rakyat sebagai pemilih akhir. Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, dan rahasia, masyarakatlah yang menentukan siapa yang pantas memimpin negeri ini.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini mempertegas bahwa pendidikan tinggi bukan prasyarat utama bagi kepemimpinan nasional. Semangat inklusivitas dan akses politik bagi seluruh warga negara menjadi pilar utama demokrasi yang tetap dijaga.

Walau tidak diwajibkan bergelar sarjana, calon pemimpin bangsa tetap harus memiliki kualitas pribadi dan kapabilitas yang mumpuni. Tugas untuk menyaring mereka secara objektif kini kembali berada di pundak partai politik dan rakyat sebagai pemilih.

Leave a reply