Reformasi Sistem Kesehatan Indonesia Terancam, Gugatan MK Bisa Kembalikan Kendali ke Elit Kolegium

0
23
https://beritaadikara.com/reformasi-sistem-kesehatan-indonesia-terancam-gugatan-mk-bisa-kembalikan-kendali-ke-elit-kolegium/

SURABAYA | BERITA ADIKARA – Di tengah upaya pemerintah memperkuat layanan kesehatan nasional, jutaan warga Indonesia dari kelas menengah atas masih memilih berobat ke luar negeri setiap tahunnya. Pengeluaran untuk pengobatan di negara seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand mencapai lebih dari Rp 170 triliun pada 2024, menurut data Kementerian Kesehatan.

Dana sebesar itu seharusnya bisa dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur kesehatan dalam negeri, yang masih menghadapi kekurangan dokter spesialis kronis meski Indonesia telah merdeka selama 80 tahun.

Masalah utama terletak pada sistem pendidikan dan pengawasan kedokteran yang mandek. Banyak dokter senior dan profesor kedokteran justru merasa prestisius sebagai satu-satunya ahli di bidangnya, tanpa inisiatif mentransfer ilmu ke generasi muda. Akibatnya, produksi dokter spesialis tidak mencukupi kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks.

Selain itu, peralatan medis dan obat-obatan di rumah sakit Indonesia seringkali tertinggal 5-10 tahun dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam. Dokter Indonesia sebenarnya berpotensi tinggi, tapi terhambat oleh prosedur tindakan, kurikulum pendidikan, dan teknologi yang tidak diperbarui sesuai kemajuan global.

Pusat permasalahan ini adalah peran Kolegium, kelompok pakar di setiap cabang ilmu kesehatan yang mengatur mutu, kurikulum, prosedur medis, serta kompetensi dokter. Kolegium menentukan tindakan medis yang boleh dilakukan, standar obat, dan alat kesehatan yang digunakan. Namun, jika kolegium ini tertutup, stagnan, atau dipengaruhi konflik kepentingan seperti hubungan dengan perusahaan farmasi maka seluruh sistem kesehatan bisa terganggu.

Contohnya prosedur medis usang dari 20-30 tahun lalu masih dipaksakan, sementara alternatif lebih modern, murah, dan aman diabaikan karena ikatan bisnis dengan produsen tertentu.

Sebelumnya, negara tidak memiliki kewenangan mengawasi Kolegium, yang berada di bawah Organisasi Profesi (OP) dan rentan dikuasai elit.

“Hal ini berubah dengan disahkannya Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, yang memberikan pemerintah hak membenahi sistem. Kolegium kini berada di bawah Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), lembaga independen yang bertanggung jawab langsung ke Presiden, bukan ke Kementerian Kesehatan atau OP”.

Reformasi ini bertujuan menciptakan akuntabilitas, memastikan kolegium bekerja untuk kemajuan ilmu pengetahuan, bukan kepentingan pribadi.

Meski demikian, reformasi ini terancam gagal karena gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh sejumlah organisasi profesi dokter sejak 2023. Hingga Agustus 2025, sidang MK masih berlangsung, dengan kemungkinan putusan yang bisa membatalkan kewenangan negara atas Kolegium.

Jika gugatan dikabulkan, sistem kesehatan kembali dikuasai segelintir elit tanpa pengawasan, berpotensi membuka celah intervensi industri farmasi. Publik diminta waspada agar independensi keilmuan tidak menjadi kedok untuk imunitas tanpa akuntabilitas, membuat Indonesia satu-satunya negara di mana layanan kesehatan rakyat ditentukan kelompok tertutup tanpa campur tangan negara.

Contoh Kasus: Kekurangan Dokter Spesialis Jantung di Jawa Timur

Pada 2024, seorang pasien di Surabaya, Jawa Timur, meninggal dunia karena keterlambatan penanganan serangan jantung akibat kekurangan dokter spesialis kardiologi di rumah sakit daerah. Menurut laporan Komite Nasional Keselamatan Pasien (KNKP), hanya ada tiga dokter spesialis jantung untuk melayani lebih dari 40 juta penduduk provinsi tersebut. Kolegium Kardiologi Indonesia diduga lambat memperbarui kurikulum dan prosedur, masih mengandalkan alat diagnostik usang dari era 2010-an, sementara teknologi seperti AI-assisted echocardiography sudah umum di Malaysia. Kasus ini menyoroti bagaimana stagnasi kolegium menyebabkan antrean panjang dan migrasi pasien ke luar negeri, dengan biaya mencapai Rp 500 juta per orang untuk operasi bypass di Singapura. Reformasi UU Kesehatan diharapkan bisa mempercepat produksi spesialis baru, tapi gugatan MK berpotensi memperburuk situasi ini di 2025.

Leave a reply