Menghubungi Keluarga Korban Kecelakaan Saat Ponsel Terkunci: Solusi atau Ancaman Privasi

Teknologi modern menawarkan solusi, seperti pengaturan "Emergency SOS"
Surabaya | Berita Adikara – Kecelakaan lalu lintas sering kali meninggalkan korban dalam kondisi kritis, di mana waktu menjadi faktor penentu hidup-mati. Namun, salah satu hambatan terbesar yang dihadapi petugas medis dan polisi adalah akses ke informasi keluarga korban, terutama ketika ponsel korban terkunci dengan kata sandi, sidik jari, atau pengenalan wajah. Kasus ini semakin sering terjadi di tengah maraknya penggunaan ponsel pintar yang dilengkapi fitur keamanan tinggi, membuat proses identifikasi dan komunikasi menjadi lebih rumit.
Menurut data dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sepanjang tahun 2025, lebih dari 30% kasus kecelakaan berat melibatkan korban yang tidak sadarkan diri dan tidak dapat diidentifikasi segera karena ketiadaan dokumen fisik atau akses digital.
“Kami sering kali harus bergantung pada barang bawaan korban, seperti dompet atau tas, untuk menemukan KTP atau SIM,” ujar Kombes Pol. Andi Rahman, Kepala Subdit Gakkum Ditlantas Polri, dalam konferensi pers kemarin.
Namun, jika ponsel terkunci, petugas harus mencari alternatif seperti fitur “Informasi Darurat” yang tersedia di beberapa perangkat Android dan iOS, yang memungkinkan akses ke kontak darurat tanpa membuka kunci.
Prosedur darurat standar di Indonesia menekankan langkah-langkah awal di lokasi kejadian. Saksi atau penolong diimbau untuk segera menghubungi nomor darurat 112 (untuk keadaan umum) atau 119 (untuk medis), sambil memberikan detail lokasi, jumlah korban, dan kondisi mereka. “Jangan coba-coba membuka ponsel korban secara paksa, karena itu bisa melanggar privasi dan hukum,” tambah Andi.
Jika tidak ada identitas, polisi dapat melacak melalui nomor IMEI ponsel atau mencocokkan sidik jari dengan database e-KTP. Rumah sakit seperti RSCM Jakarta juga memiliki protokol untuk memeriksa barang korban dan bahkan bekerja sama dengan polisi untuk mencari melalui media sosial jika diperlukan.
Teknologi modern menawarkan solusi, seperti pengaturan “Emergency SOS” di ponsel yang secara otomatis menghubungi kontak darurat saat ditekan lama.
Namun, kesadaran masyarakat Indonesia tentang fitur ini masih rendah. “Hanya sekitar 20% pengguna ponsel yang mengaktifkan fitur darurat, berdasarkan survei kami,” kata Dr. Lina Sari, pakar teknologi kesehatan dari Universitas Indonesia.
Pemerintah sedang mempertimbangkan kampanye edukasi nasional untuk mendorong penggunaan fitur ini, serta pengembangan aplikasi darurat terintegrasi dengan database nasional.
Di sisi lain, masyarakat diminta berperan aktif. “Jika Anda menjadi saksi, bantu dengan menjaga keamanan lokasi, nyalakan hazard, dan jangan pindahkan korban jika ada cedera serius,” saran dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta.
Kasus terbaru di Jakarta Selatan, di mana seorang pengendara motor tewas tanpa identitas karena ponsel terkunci, menjadi pengingat betapa krusialnya persiapan ini.
Topik ini memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di media sosial dan forum online.
Banyak netizen, termasuk kelompok advokasi seperti Komunitas , berargumen bahwa privasi harus dikorbankan sedikit demi keselamatan.
“Bayangkan jika itu keluarga kita yang kecelakaan. Fitur darurat di ponsel harus wajib diaktifkan, dan pemerintah harus edukasi lewat iklan TV atau sekolah,” tulis @SafetyFirst_ID di X (sebelumnya Twitter).
Mereka menyarankan integrasi dengan e-KTP untuk akses cepat, dengan alasan bahwa nyawa lebih penting daripada data pribadi. Survei online menunjukkan 65% responden setuju dengan database terintegrasi, asal ada regulasi ketat untuk mencegah penyalahgunaan.