Era Baru Sengketa Medis: Dari Syarat Rekomendasi Majelis Disiplin hingga Peluang Judicial Pardon

0
15
https://beritaadikara.com/era-baru-sengket…-judicial-pardon/

SURABAYA| BERITA ADIKARA – Lanskap penegakan hukum di sektor kesehatan Indonesia tengah mengalami pergeseran fundamental. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) bersamaan dengan berlakunya asas-asas baru dalam KUHP Nasional, membawa paradigma baru dalam penyelesaian kasus yang melibatkan tenaga medis.

Dua isu krusial yang kini menjadi sorotan adalah kewajiban penilaian disiplin profesi sebelum litigasi dan kewenangan hakim memberikan pemaafan (judicial pardon) dalam tindak pidana ringan.

Batas Tegas Malpraktik dan Kriminalitas Murni

Di tengah mencuatnya kasus kekerasan seksual yang melibatkan oknum tenaga medis, para pakar hukum menegaskan perlunya demarkasi yang jelas. Tindakan penyimpangan seksual yang memanfaatkan relasi kuasa dokter-pasien dikategorikan sebagai kejahatan pidana murni, bukan malpraktik medis.

“Mengaburkan batas antara tindak pidana murni dan kelalaian medis justru berisiko mengaburkan hak korban dan menyulitkan penegakan hukum,” demikian pandangan yang berkembang dalam diskursus hukum saat ini. UU 17/2023 difokuskan untuk menangani sengketa akibat kelalaian standar pelayanan, bukan untuk melindungi pelaku kriminalitas yang berlindung di balik profesi.

Prosedur Baru: “Filter” Majelis Disiplin Profesi

Perubahan signifikan terjadi pada alur gugatan sengketa medis. Jika sebelumnya pasien dapat langsung melayangkan gugatan perdata atau pidana, UU 17/2023 kini menutup celah proses hukum instan tanpa evaluasi ahli.

Pasal 308 UU Kesehatan memandatkan bahwa tenaga medis baru dapat dimintai pertanggungjawaban hukum setelah adanya rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi.

Lembaga ini, yang diatur teknisnya melalui Permenkes Nomor 12 Tahun 2024, menggantikan peran MKDKI dengan komposisi yang lebih inklusif melibatkan unsur pemerintah, profesi, hingga masyarakat untuk menjamin objektivitas.

Tujuannya jelas: memastikan setiap tuduhan malpraktik dinilai terlebih dahulu secara etis dan disipliner sebelum masuk ke ranah peradilan, demi kepastian hukum bagi tenaga medis dan pasien.

Judicial Pardon: Kewenangan Hakim Memaafkan Terdakwa

Selain prosedur pra-litigasi, sorotan juga tertuju pada mekanisme persidangan di bawah rezim KUHP Nasional. Muncul pertanyaan krusial: Dapatkah hakim memberikan pemaafan jika korban menolak memaafkan terdakwa?

Merujuk pada Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, hakim memiliki kewenangan untuk tidak menjatuhkan pidana dengan mempertimbangkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, serta aspek keadilan dan kemanusiaan. Konsep ini dikenal sebagai Pemaafan Hakim atau Rechterlijke Pardon.

Dalam buku Anotasi KUHP Nasional, pakar hukum pidana Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso menjelaskan bahwa asas ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf kepada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan.

Penting dicatat, Rechterlijke Pardon tidak menghapus kesalahan terdakwa. Dalam putusannya, hakim tetap menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana, namun hakim memilih untuk tidak menjatuhkan hukuman (pidana) demi rasa keadilan substantif.

Hal ini menegaskan bahwa pemaafan korban (sebagai pertimbangan dalam Pasal 54 ayat 1 huruf j) bukanlah satu-satunya penentu; hakim memiliki kemandirian untuk menilai kelayakan pemaafan berdasarkan bobot kasus tersebut.

Sinergi antara mekanisme penyaringan di Majelis Disiplin dan peluang Judicial Pardon di pengadilan ini diharapkan mampu menciptakan iklim pelayanan kesehatan yang lebih tenang, profesional, namun tetap bertanggung jawab.

Leave a reply