Moralitas dan Kepatuhan Hukum Dinilai Tidak Semata Bergantung pada Doktrin

Dalam tinjauan psikologi dan hukum, perilaku kepatuhan manusia dapat dijelaskan melalui dinamika id, ego, dan superego
SURABAYA | BERITA ADIKARA – Diskursus mengenai landasan moralitas dan kepatuhan hukum bagi individu yang tidak terikat pada doktrin keagamaan atau agnostik, menjadi topik yang menarik untuk dibedah dari perspektif psikologi hukum.
Muncul pertanyaan mendasar di tengah masyarakat mengenai instrumen apa yang membatasi seseorang dari perbuatan tercela atau melanggar hukum (melakukan tindak pidana) jika batasan tersebut tidak didasarkan pada ketakutan teologis atau dosa.
Dalam tinjauan psikologi dan hukum, perilaku kepatuhan manusia dapat dijelaskan melalui dinamika id, ego, dan superego. Dorongan dasar instingtif manusia untuk memenuhi hasratnya (id), senantiasa dikelola oleh pikiran rasional (ego) yang berfungsi menyeimbangkan dorongan tersebut dengan norma yang berlaku (superego).
Penting untuk dipahami bahwa norma atau superego ini tidak hanya terbatas pada norma agama, melainkan mencakup norma hukum positif, etika sosial, dan hukum alam yang termanifestasi dalam bentuk hati nurani.
Secara sosiologis, anggapan bahwa moralitas dan ketertiban hukum hanya dapat bersumber dari agama dinilai sebagai pandangan yang kurang komprehensif.
Manusia pada dasarnya lahir dengan perangkat hati nurani dan kesadaran logis untuk memahami konsekuensi kausalitas.
Sebagai contoh, kesadaran hukum bahwa tindakan menghilangkan nyawa orang lain (pembunuhan) atau mengambil hak orang lain (pencurian) adalah perbuatan salah, dapat dipahami melalui akal sehat dan hati nurani tanpa harus menunggu legitimasi dalil keagamaan.
Lebih lanjut, dalam aspek penegakan hukum positif, batasan perilaku seseorang yang memiliki hati nurani tumpul sekalipun tetap dapat dikendalikan melalui mekanisme kontrol sosial dan ancaman sanksi (pidana).
Sistem hukum bekerja sebagai pagar pembatas eksternal yang memaksa. Seseorang dapat menahan diri untuk tidak melakukan pelanggaran hukum bukan semata karena dorongan moral yang luhur, melainkan karena adanya ketakutan rasional terhadap konsekuensi hukum atau sanksi pidana yang akan diterima dari negara.
Dengan demikian, tertib sosial dapat tetap terjaga karena adanya sistem hukum yang mengikat setiap warga negara.
Rasa takut akan hukuman dan kontrol sosial terbukti efektif menjadi instrumen pemaksa bagi siapa pun, terlepas dari latar belakang keyakinan teologisnya, untuk tetap tunduk pada aturan dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.









