Raja Ampat, Papua Barat Daya — Upaya eksploitasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat memicu gelombang penolakan luas dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, hingga pejabat negara. Meskipun sektor pertambangan kerap dianggap sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, kehadirannya di wilayah konservasi dan pariwisata unggulan seperti Raja Ampat menimbulkan kecemasan terhadap masa depan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Raja Ampat dikenal secara internasional sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Perairannya menjadi rumah bagi lebih dari 75% spesies karang global dan ratusan spesies ikan yang menjadi daya tarik utama pariwisata bahari Indonesia. Namun, rencana penambangan nikel yang dilakukan oleh perusahaan PT Mulia Raymond Perkasa di wilayah Pulau Manyaifun dan Batang Pele dinilai mengancam kelestarian ekosistem tersebut.
Data dari lembaga riset lokal menunjukkan adanya peningkatan sedimentasi di perairan sekitar lokasi tambang. Sedimentasi ini menutupi hingga 40% terumbu karang aktif di Selat Dampier, mengganggu kehidupan biota laut dan merusak potensi ekowisata. Selain itu, kandungan nikel di perairan disebut melebihi batas aman, yakni mencapai 1,25 mg/L—lima kali lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pada akhir Mei 2025, ratusan warga, tokoh adat, dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA) menggelar aksi damai menolak keberadaan tambang nikel. Mereka menuntut pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) yang dinilai cacat prosedur dan tidak melibatkan konsultasi publik secara menyeluruh.
Menanggapi protes tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa kementeriannya tengah meninjau kembali seluruh izin tambang yang aktif di kawasan Raja Ampat. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mentolerir investasi yang merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal.
“Kalau memang izin-izin itu terbukti bermasalah atau menimbulkan kerusakan ekosistem yang tidak bisa diperbaiki, ya harus dicabut,” ujar Bahlil dalam pernyataan resminya.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Widiyanti Putri Wardhana, turut angkat bicara. Ia mengingatkan pentingnya menjaga prinsip pembangunan berkelanjutan, terutama di kawasan destinasi prioritas seperti Raja Ampat.
“Raja Ampat bukan hanya kekayaan lokal, tapi aset nasional dan global. Kerusakan di sana berarti kerugian jangka panjang yang tidak bisa diukur dengan angka investasi,” ujarnya dalam acara diskusi kebijakan pariwisata.
Sementara itu, DPRD Kabupaten Raja Ampat membentuk tim investigasi untuk menyerap aspirasi masyarakat secara langsung. Mereka mengunjungi beberapa lokasi yang diduga menjadi titik operasi tambang dan menyatakan akan mendesak pemerintah pusat agar menghentikan semua aktivitas tambang hingga studi lingkungan diselesaikan.
Di tengah sorotan publik, muncul dilema klasik antara pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan dan kebutuhan menjaga kelestarian lingkungan serta keberlanjutan pariwisata. Aktivitas tambang nikel memang menjanjikan nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, namun tanpa pengelolaan yang bertanggung jawab, dampak jangka panjangnya bisa menghancurkan ekosistem Raja Ampat yang rapuh.
Warga lokal yang menggantungkan hidup dari laut—nelayan, pemandu wisata, pengrajin, hingga pelaku usaha kecil—merupakan kelompok paling terdampak. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi tolong jangan rusak laut kami. Kalau laut mati, kami pun mati,” ujar Marthen, seorang nelayan dari Pulau Manyaifun.
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menjadi refleksi penting bagi pemerintah dalam menentukan arah pembangunan di kawasan konservasi. Apakah kepentingan ekonomi jangka pendek harus didahulukan dengan mengorbankan kekayaan ekologis yang tak tergantikan?
Masyarakat sipil kini menuntut transparansi, partisipasi, dan keberpihakan pemerintah kepada rakyat dan lingkungan. Karena jika Raja Ampat rusak, bukan hanya Indonesia yang kehilangan, tapi dunia.