Los Angeles, 9 Juni 2025 — Kota Los Angeles kembali menjadi sorotan dunia setelah pecahnya kerusuhan besar-besaran yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut, menyusul aksi razia oleh pihak Imigrasi dan Bea Cukai Amerika Serikat (ICE). Operasi yang awalnya bertujuan menindak pelanggaran dokumen keimigrasian itu memicu gelombang kemarahan warga, khususnya komunitas migran dan kelompok pembela hak sipil, yang merasa terancam dan diperlakukan secara diskriminatif.
Awal Mula Kerusuhan: Razia Massal di Distrik Fashion
Pada Jumat, 6 Juni 2025, ICE menggelar operasi penertiban di beberapa titik strategis Los Angeles, termasuk Distrik Fashion, sebuah kawasan yang dikenal padat pekerja migran. Dalam operasi tersebut, sedikitnya 118 orang ditangkap dengan tuduhan menggunakan dokumen kerja palsu. Razia ini disambut kemarahan oleh warga dan aktivis yang menilai ICE telah bertindak berlebihan dan tidak manusiawi.
Tak butuh waktu lama, massa mulai berkumpul di pusat kota. Aksi protes yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh ketika aparat kepolisian mulai membubarkan demonstran dengan gas air mata dan peluru karet. Beberapa pengunjuk rasa membalas dengan melempar batu dan benda keras ke arah petugas, menandai eskalasi konflik yang tak terhindarkan.
Hari Kedua: Demonstrasi Menyebar, Aparat Kerahkan Garda Nasional
Sabtu, 7 Juni, aksi protes meluas hingga ke wilayah Compton dan Paramount. Jalanan diblokade dengan troli belanja dan pembatas jalan. Mobil-mobil dibakar, kaca toko dipecahkan, dan bentrokan makin tak terkendali. LAPD menyatakan kekuatan mereka kewalahan dan meminta dukungan pemerintah pusat.
Pemerintah federal menanggapi dengan mengerahkan lebih dari 2.000 pasukan Garda Nasional, ditambah ratusan Marinir cadangan yang disiagakan di California Selatan. Keputusan ini memicu reaksi keras dari Gubernur California Gavin Newsom dan Wali Kota Los Angeles Karen Bass, yang menilai intervensi militer tersebut tidak dikoordinasikan dengan pemerintah daerah dan berpotensi memperkeruh situasi.
Hari Ketiga: Situasi Memanas, Jalan Tol Diduduki Demonstran
Puncak kerusuhan terjadi pada Minggu, 8 Juni. Massa demonstran menduduki sebagian ruas jalan tol 101 Freeway—jalur vital Los Angeles—dan membakar kendaraan, termasuk mobil tanpa sopir (Waymo). Mereka juga melumpuhkan sistem lalu lintas dan menyerang petugas dengan petasan, batu, serta bom molotov rakitan.
LAPD mengonfirmasi bahwa jumlah korban luka terus bertambah dari kedua belah pihak. Sejumlah toko dan fasilitas umum mengalami kerusakan parah. Polisi menyebut ini sebagai kerusuhan sipil terbesar sejak protes kematian George Floyd pada 2020.
Reaksi Pemerintah dan Dunia Internasional
Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa pengerahan pasukan federal adalah tindakan “preventif” untuk menghindari anarki massal. Namun, banyak pihak mengkritik langkah tersebut sebagai bentuk “otoritarianisme baru” yang mengancam hak-hak sipil warga negara.
Wali Kota Karen Bass dalam konferensi pers menyebut Los Angeles sedang dijadikan “uji coba politik” oleh pemerintah pusat dan memperingatkan bahwa tindakan ini bisa berdampak jangka panjang, termasuk pada citra kota sebagai tuan rumah Olimpiade 2028 dan Piala Dunia 2026.
Pemerintah Meksiko juga turun tangan, mengecam penangkapan warga mereka secara sewenang-wenang. Mereka menuntut kejelasan status hukum para tahanan dan meminta agar seluruh proses dijalankan dengan menghormati hukum internasional.
Kerusuhan ini menjadi simbol kegagalan koordinasi antara aparat federal dan negara bagian dalam menghadapi isu keimigrasian yang kompleks. Ketegangan sosial semakin diperparah oleh minimnya komunikasi dan empati terhadap komunitas rentan, seperti pekerja migran dan etnis minoritas.
Sejumlah pengamat menilai bahwa ini adalah peringatan serius bahwa kebijakan imigrasi yang terlalu represif tanpa dialog bisa berujung pada konflik horizontal. Reformasi kebijakan, bukan represif militer, dinilai sebagai solusi jangka panjang agar tragedi serupa tidak kembali terulang.