Aksi 205: Ribuan Pengemudi Ojol Gelar Demo Nasional, Tuntut Keadilan dan Regulasi yang Tegas

Jakarta, 20 Mei 2025 — Suasana di sejumlah kota besar Indonesia berubah riuh pada Senin, 20 Mei 2025, saat puluhan ribu pengemudi ojek online (ojol), taksi daring, dan kurir logistik yang tergabung dalam berbagai komunitas dan organisasi transportasi digital menggelar aksi unjuk rasa serentak bertajuk Aksi 205. Gerakan ini tidak hanya berlangsung di ibu kota, tetapi juga merebak di Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Makassar, hingga Palembang.
Diperkirakan lebih dari 500 ribu mitra pengemudi dari berbagai platform digital seperti Gojek, Grab, Maxim, hingga Shopee Express ikut serta dalam aksi damai ini. Di Jakarta sendiri, massa memusatkan aksinya di tiga titik strategis: Kantor Kementerian Perhubungan, Gedung DPR/MPR RI, dan kawasan Istana Merdeka.
Ketua Umum Gabungan Aksi Roda Dua (Garda), Igun Wicaksono, menyebut aksi ini sebagai bentuk akumulasi kekecewaan yang sudah lama dipendam oleh para pengemudi daring. Ia menyebut bahwa perusahaan aplikator tidak lagi menaati aturan tarif dan pemotongan yang sudah ditetapkan pemerintah melalui regulasi resmi.
“Potongan yang dilakukan oleh aplikator mencapai 40–50 persen dari penghasilan mitra. Padahal, menurut Kepmenhub No. KP 1001 Tahun 2022, batas maksimal potongan adalah 20 persen,” ujar Igun dalam orasinya di depan Gedung DPR RI.
Menurutnya, ketidakjelasan posisi mitra ojol sebagai pekerja ataupun penyedia jasa membuat mereka rentan dieksploitasi. Selain itu, revisi terhadap sistem tarif oleh aplikator sering dilakukan sepihak, merugikan para pengemudi terutama di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.
Dalam unjuk rasa ini, para peserta menyampaikan lima tuntutan utama kepada pemerintah dan penyedia aplikasi transportasi daring:
- Sanksi Tegas terhadap Pelanggaran Regulasi: Mendesak Presiden dan Menteri Perhubungan untuk memberi sanksi tegas kepada aplikator yang melanggar Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub No. KP 1001 Tahun 2022.
- Rapat Dengar Pendapat Gabungan: Meminta DPR RI, khususnya Komisi V, untuk menggelar rapat dengan pengemudi, aplikator, dan regulator guna membahas pembaruan sistem transportasi daring.
- Batasan Potongan Penghasilan: Menuntut pembatasan maksimal potongan penghasilan mitra oleh aplikator sebesar 10 persen.
- Revisi Skema Tarif Penumpang: Menghapus skema tarif insentif seperti slot, aceng, prioritas, dan hemat yang tidak transparan dan merugikan pengemudi.
- Penetapan Tarif Layanan Logistik dan Makanan: Mengajak semua pihak termasuk YLKI dan asosiasi pengemudi untuk menyusun tarif yang adil untuk layanan pengantaran makanan dan barang.
Aksi ini tidak hanya terlihat dalam bentuk keramaian massa di jalanan, tetapi juga berdampak langsung terhadap layanan transportasi dan pengiriman barang di berbagai kota. Banyak mitra ojol yang melakukan offbid atau mematikan aplikasi mereka sebagai bentuk boikot terhadap aplikator.
“Sejak pagi, kami kesulitan mendapatkan ojek dan layanan pesan-antar. Bahkan di aplikasi, tarifnya naik berkali lipat,” ujar Fitri, warga Bekasi yang sempat kesulitan menuju tempat kerja.
Pemerintah daerah dan aparat kepolisian telah mengantisipasi aksi ini dengan pengamanan ketat. Meski demikian, aksi berjalan tertib dan damai.
Sejumlah anggota DPR RI menyatakan kesediaannya untuk menerima perwakilan pengemudi. Sementara Kementerian Perhubungan menyatakan akan menindaklanjuti laporan dan tuntutan yang disampaikan dalam aksi ini.
“Kami memahami keresahan para mitra ojol. Pemerintah berkomitmen untuk memastikan sistem transportasi daring tetap adil bagi semua pihak,” ujar perwakilan Kemenhub dalam siaran pers singkat.
Aksi 205 menjadi pengingat bahwa ekonomi digital yang berkembang pesat tidak boleh mengabaikan prinsip keadilan sosial. Para pengemudi daring, yang menjadi tulang punggung layanan mobilitas masyarakat urban, berhak mendapatkan perlindungan hukum dan kesejahteraan yang layak.
Aksi ini juga menjadi sinyal kuat bahwa era kerja digital menuntut sistem regulasi yang adaptif dan inklusif, yang mampu melindungi hak-hak pekerja tanpa menghambat inovasi.
Dengan bergemanya suara pengemudi dari jalanan ke ruang-ruang kebijakan, masyarakat berharap pemerintah dan aplikator tidak lagi menutup mata terhadap persoalan pelik di balik layanan yang selama ini tampak praktis dan efisien.