Apakah Boleh Keluarga Pasien Melihat Rekam Medis di Rumah Sakit ?

Jika tetap ditolak, keluarga dapat melaporkan ke Dewan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) atau bahkan ke pengadilan untuk menuntut hak akses tersebut.
Berita Adikara – Di tengah semakin ketatnya regulasi perlindungan data kesehatan, muncul pertanyaan krusial dari masyarakat: apakah anggota keluarga pasien diperbolehkan mengakses rekam medis?
Kasus baru-baru ini, di mana seorang warga mengeluhkan penolakan rumah sakit untuk membagikan data medis saudaranya, kembali menyoroti isu ini. Menurut pakar hukum kesehatan, akses semacam itu memang dimungkinkan, tapi hanya dalam situasi tertentu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan) yang berlaku.
Rekam medis, yang mencakup data identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan medis lainnya, pada dasarnya adalah milik pasien itu sendiri. Dokumen ini harus disampaikan langsung kepada pasien setelah pelayanan kesehatan selesai.,
Namun dalam kondisi di mana pasien tidak mampu seperti karena koma, hilang kesadaran, atau meninggal dunia rekam medis dapat dibagikan kepada keluarga terdekat.
Hal ini bertujuan untuk memastikan kelanjutan perawatan atau penyelesaian administrasi, sambil tetap menjaga kerahasiaan data.
Menurut penjelasan dari Kementerian Kesehatan, rekam medis sebenarnya merupakan aset fasilitas pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit atau klinik, yang wajib dijaga keamanan, integritas, dan kerahasiaannya.
Setiap entri dalam rekam medis harus dilengkapi dengan nama, waktu, serta tanda tangan dari tenaga medis yang bertanggung jawab. Sistem pencatatan ini semakin canggih dengan penggunaan platform elektronik, yang memudahkan akses tapi juga menuntut proteksi lebih ketat terhadap kebocoran data.
Hak pasien untuk mengakses informasi rekam medisnya sendiri dijamin secara eksplisit dalam Pasal 276 huruf e juncto Pasal 297 ayat (2) UU Kesehatan. Bagi keluarga, jika rumah sakit menolak, langkah pertama yang bisa diambil adalah mengajukan permohonan tertulis dengan bukti hubungan keluarga, seperti akta kelahiran atau surat kuasa.
Jika tetap ditolak, keluarga dapat melaporkan ke Dewan Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) atau bahkan ke pengadilan untuk menuntut hak akses tersebut.
Kasus serupa pernah menjadi sorotan pada awal 2025, ketika seorang keluarga pasien kritis menggugat rumah sakit swasta di Surabaya atas penolakan akses rekam medis.
Pengadilan memutuskan mendukung keluarga, dengan alasan kondisi pasien yang kritis memenuhi syarat pengecualian. “Ini bukan soal privasi semata, tapi juga hak keluarga untuk terlibat dalam keputusan medis,” ujar Dr. Andi Wijaya, ahli etika medis dari Universitas Indonesia.
Dengan maraknya digitalisasi kesehatan, pemerintah mendorong rumah sakit untuk lebih transparan. Namun, bagi masyarakat yang menghadapi kendala, disarankan berkonsultasi dengan pengacara kesehatan atau lembaga bantuan hukum gratis untuk memastikan hak mereka terpenuhi tanpa melanggar aturan.