Bagaimana Nasib Pekerja usia 40 Ke Atas Di Pasar Kerja Formal? , Tantangan Dan Peluang SDM

Orang Berbondong-bondong antri Untuk Melamar Pekerjaan
Sejak 2024, Kartika (48), warga Surabaya bekerja sebagai penyelenggara acara lepas dengan penghasilan tak menentu. Ia telah mengirimkan banyak surat lamaran kerja sejak 2020,
Berharap kembali menjadi pekerja formal. Namun, dari sekian banyak lamaran, hanya lima hingga enam yang sampai ke tahap wawancara. Sayangnya, tawaran gaji sering kali hanya sebatas upah minimum kabupaten/kota. Pada 2020-2024, Kartika sempat menerima pekerjaan dengan gaji minimum, tetapi biaya transportasi yang tinggi memaksanya menggunakan tabungan pribadi. Akhirnya, ia mengundurkan diri setelah enam bulan.
Ia juga pernah melamar sebagai resepsionis di Jakarta, tetapi ditolak karena alasan usia, meski menawarkan diri untuk mengisi posisi sementara bagi pekerja yang cuti melahirkan.
Kisah serupa dialami Amalia (42), warga Jakarta, yang bekerja sebagai tenaga kontrak di sebuah organisasi non-pemerintah internasional, menangani kebutuhan komunikasi. Kontraknya diperbarui setiap tiga bulan, dengan gaji yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari sebagai lajang di Jakarta. Situasi ini membuatnya merasa tidak aman secara finansial.
“Saat aku masuk usia 40 tahun, diskriminasi usia itu mulai sangat terasa. Bidang yang aku kuasai sebenarnya sudah sampai level strategi, tetapi malah diminta mengerjakan pekerjaan yang menurutku cocok untuk anak baru lulus. Aku seolah-olah diharuskan bisa bersaing dengan lebih muda,” katanya.
Iriel, yang juga berusia 40 tahun, mengalami hal serupa. Ia pernah melamar untuk posisi senior di bidang komunikasi dan pemasaran, sesuai dengan pengalaman dan usianya. Namun, ia ditolak karena dianggap terlalu tua, kalah bersaing dengan kandidat berusia 30 tahun. Selama setahun menganggur, Iriel hidup dari tabungan dan pekerjaan lepas sebagai penyiar radio di Bali dengan bayaran Rp14.000 per jam untuk tiga jam siaran setiap akhir pekan. Situasi ini membuatnya sempat depresi, tetapi ia terus meningkatkan keterampilannya. Pada 1 Juli 2025, Iriel akhirnya diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi asal India yang memiliki kantor di Jakarta.
Kisah Kartika, Amalia, dan Iriel mencerminkan tantangan pekerja usia 40 tahun ke atas dalam mencari pekerjaan formal. Di media sosial seperti LinkedIn, cerita serupa marak dibagikan, bahkan memunculkan komunitas “Old Jobseeker” untuk saling mendukung dan berbagi informasi lowongan kerja.
Haryo Suryosumarto, Founder dan Managing Director Headhunter Indonesia, pada 14 Juli 2025, menyatakan bahwa pasar kerja masih sulit akibat ketidakpastian ekonomi. Banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan lebih selektif dalam merekrut karyawan. Sektor seperti minyak, gas, dan organisasi non-pemerintah mengalami pertumbuhan stagnan, yang turut meningkatkan angka pengangguran nasional.

Jumlah Tenaga Kerja Yang
Pada akhir 2024, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia mencapai 12%, dengan 21 dari 38 provinsi memiliki struktur penduduk tua.
Situasi ini diperparah oleh dampak pandemi, transformasi digital, perkembangan kecerdasan buatan, dan terbatasnya lapangan kerja formal.
Haryo menilai bahwa pasar kerja di Indonesia perlu lebih ramah terhadap pekerja usia 40 tahun ke atas. Namun, hal ini sulit tercapai tanpa cukupnya lapangan kerja formal.
“Solusi jangka panjang seperti perpanjangan usia pensiun telah diterapkan, tetapi dampaknya baru terasa di masa depan. Pekerja senior juga perlu didorong untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan (upskilling dan reskilling) agar sesuai dengan kebutuhan industri Ucap Haryo”
Dinegara maju, program seperti Active Labour Market Policies (ALMP) mengintegrasikan pelatihan dan penempatan kerja, yang memerlukan data ketenagakerjaan yang akurat dan terkini.
Pada 28 Mei 2025, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menerbitkan Surat Edaran (SE) Menaker 6/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Rekrutmen Tenaga Kerja, melarang praktik diskriminatif seperti batasan usia dan penampilan fisik.