Dampak Royalti terhadap Hiburan Publik: Industri Bus Kini Tanpa Musik

0
32
https://beritaadikara.com/?p=2296&preview=true

Jakarta, 20 Agustus 2025 — Perusahaan otobus (PO) di berbagai wilayah Indonesia mulai menghentikan pemutaran musik di armada mereka. Kebijakan ini merupakan respons langsung terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 yang mengatur tentang pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik di ruang publik, termasuk di dalam bus penumpang. Aturan ini mewajibkan setiap penyelenggara transportasi umum membayar royalti untuk setiap lagu atau musik yang diputar, sehingga menimbulkan konsekuensi finansial bagi perusahaan otobus.

Sejumlah PO besar seperti PO SAN, PO Haryanto, PO Gunung Harta, PO Eka Mira, dan PO Sumber Alam telah memutuskan untuk menonaktifkan pemutaran musik selama perjalanan. Langkah ini diambil untuk menghindari biaya tambahan yang timbul akibat kewajiban pembayaran royalti, yang jika tidak diantisipasi berpotensi meningkatkan tarif tiket penumpang.

PO SAN, misalnya, melalui akun resmi Instagramnya menyampaikan bahwa penghentian pemutaran musik adalah bentuk kepatuhan terhadap regulasi, sekaligus upaya menjaga kenyamanan penumpang tanpa membebani biaya tambahan. Perusahaan juga menekankan bahwa keputusan ini diambil agar harga tiket tetap terjangkau dan pelayanan tetap optimal, meski suasana perjalanan kini menjadi lebih hening.

Kebijakan ini jelas berdampak pada pengalaman penumpang selama perjalanan. Beberapa penumpang mengaku merindukan hiburan musik yang sebelumnya menjadi pengiring perjalanan mereka. Musik yang diputar di dalam bus tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga membantu mengurangi rasa bosan, terutama pada perjalanan jarak jauh.

Di sisi lain, ada penumpang yang merasa lebih nyaman dengan suasana hening di dalam bus. Mereka memanfaatkan kesempatan tersebut untuk beristirahat, membaca, atau bercengkerama dengan sesama penumpang tanpa gangguan suara musik. Perbedaan tanggapan ini menunjukkan bahwa persepsi kenyamanan selama perjalanan sangat subjektif dan bervariasi antar individu.

Bagi operator bus, keputusan ini bukan tanpa konsekuensi. Mereka menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara kepatuhan hukum, kualitas layanan, dan harga tiket yang tetap kompetitif. Royalti yang tinggi bisa menekan margin keuntungan, sehingga menimbulkan dilema antara mematuhi regulasi atau menjaga kepuasan penumpang melalui hiburan musik.

Beberapa perusahaan mempertimbangkan alternatif lain, seperti menggunakan musik bebas royalti atau menjalin kerja sama dengan lembaga pengelola hak cipta untuk mendapatkan lisensi dengan tarif lebih terjangkau. Namun, proses ini membutuhkan waktu, biaya, dan perencanaan matang agar tidak mengganggu operasional harian.

Para pengamat menilai bahwa situasi ini seharusnya menjadi peluang bagi pemerintah, lembaga pengelola hak cipta, dan industri transportasi untuk mencari solusi yang saling menguntungkan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah menetapkan tarif royalti yang wajar dan proporsional, sehingga tidak membebani operator bus maupun penumpang.

Selain itu, edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya menghargai hak cipta juga menjadi hal yang krusial. Dengan kesadaran ini, diharapkan pencipta musik tetap mendapatkan apresiasi dan haknya dihormati, sementara layanan transportasi dapat berjalan tanpa membebani penumpang dengan tarif tambahan yang tinggi.

Keputusan menghentikan pemutaran musik di bus akibat aturan royalti menjadi perubahan signifikan bagi industri transportasi dan pengalaman penumpang. Meskipun menimbulkan tantangan baru, langkah ini mencerminkan kepatuhan operator terhadap regulasi hak cipta. Kedepannya, dialog konstruktif antara pemerintah, lembaga hak cipta, dan operator transportasi akan menjadi kunci untuk menemukan solusi yang adil, menjaga kualitas layanan, dan tetap menghargai karya para pencipta musik.

Leave a reply