Darah di Balik Lensa: Tragedi Jurnalis Al Jazeera di Gaza

Darah di Balik Lensa: Tragedi Jurnalis Al Jazeera di Gaza
Gaza, 10–11 Agustus 2025 — Malam itu, langit Gaza kembali bergetar oleh dentuman bom. Di tengah pekatnya asap dan sirene darurat, suara-suara yang selama ini menjadi saksi penderitaan rakyat Palestina, perlahan terdiam. Serangan udara Israel menghantam kawasan dekat Rumah Sakit Al-Shifa, salah satu titik yang selama ini menjadi pusat kegiatan medis dan liputan media internasional.
Korban tewas bukan hanya warga sipil, tetapi juga mereka yang tugasnya menyampaikan kebenaran ke dunia — lima jurnalis Al Jazeera, termasuk sosok yang dikenal luas, Anas al-Sharif.
Anas al-Sharif bukan nama asing bagi publik. Ia telah bertahun-tahun meliput dari garis depan, melaporkan setiap ledakan, evakuasi, hingga tangis keluarga korban. Pada malam nahas itu, hanya beberapa menit sebelum serangan, ia mengunggah sebuah video ke platform X (dulu Twitter), memperlihatkan suasana tegang di Gaza:
“Pengeboman masif berlangsung terus-menerus di bagian timur dan selatan Kota Gaza.”
Di balik kata-kata itu, tak ada yang tahu bahwa pesan tersebut menjadi dokumentasi terakhirnya. Tidak lama kemudian, tenda media tempat ia dan rekan-rekannya bekerja menjadi sasaran tembakan roket udara. Ledakan besar menghancurkan peralatan, menghentikan suara-suara laporan, dan merenggut nyawa Anas beserta empat kolega: Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan seorang teknisi lapangan.
Tujuh orang tewas dalam serangan tersebut, sebagian besar adalah jurnalis yang sedang bertugas.
Militer Israel (IDF) tidak membantah keterlibatan mereka. Dalam pernyataan resminya, mereka menuduh Anas al-Sharif sebagai “pemimpin sel teroris Hamas” yang disebut bertanggung jawab atas peluncuran roket ke wilayah Israel. Klaim ini dikatakan didukung bukti intelijen.
Namun, tuduhan itu langsung memicu gelombang bantahan dan kecaman. Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi yang selama ini mengadvokasi kebebasan pers, menyatakan tidak ada bukti kuat yang mendukung narasi Israel. Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berpendapat, Irene Khan, menegaskan bahwa pola serangan terhadap jurnalis di Gaza mengindikasikan bahaya serius bagi kerja media di wilayah konflik.
Pihak Al Jazeera pun mengeluarkan pernyataan keras, menyebut serangan ini sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membungkam liputan kritis mengenai penderitaan warga Gaza. “Ini bukan serangan pertama terhadap jurnalis kami, dan tampaknya tidak akan menjadi yang terakhir jika dunia terus diam,” demikian pernyataan mereka.
Kematian Anas dan rekan-rekannya menambah panjang daftar korban di kalangan media. Data PBB menunjukkan, sejak eskalasi perang terbaru, lebih dari 200 jurnalis tewas di Gaza, menjadikannya salah satu zona paling mematikan bagi pekerja pers dalam sejarah modern.
Gelombang reaksi internasional mengalir deras. Sekretaris Jenderal PBB menyerukan investigasi independen untuk mengungkap kebenaran di balik serangan tersebut. Organisasi-organisasi pers global seperti Reporters Without Borders (RSF), International Federation of Journalists (IFJ), dan CPJ mendesak adanya perlindungan lebih ketat terhadap jurnalis yang bekerja di medan konflik.
Pemerintah di sejumlah negara, mulai dari Turki hingga Afrika Selatan, juga mengecam keras serangan tersebut. Mereka menilai tindakan Israel melanggar hukum internasional, khususnya Konvensi Jenewa yang melindungi warga sipil dan pekerja kemanusiaan di zona perang.
Di balik statistik korban, ada kisah manusia yang lebih dalam. Anas al-Sharif meninggalkan istri dan tiga anak yang kini kehilangan figur ayah. Rekan-rekan sesama jurnalis mengenangnya sebagai sosok yang tak kenal takut, selalu berada di garis depan meski nyawa menjadi taruhan.
Bagi banyak warga Gaza, ia bukan hanya pembawa berita, melainkan suara mereka yang menembus batas sensor dan kebisuan dunia internasional.
Kehilangannya, bersama rekan-rekan yang gugur, meninggalkan lubang besar dalam perjuangan menyuarakan kondisi Gaza. “Jika suara-suara ini dibungkam, dunia hanya akan mendengar satu versi cerita — dan itu adalah kematian kebenaran,” ujar salah satu jurnalis senior Al Jazeera.
Tragedi ini menjadi peringatan pahit bahwa kebebasan pers tidak pernah benar-benar aman, bahkan di era di mana informasi seharusnya menjadi kekuatan untuk mencegah kekejaman. Di Gaza, jurnalis tidak hanya memegang kamera dan mikrofon — mereka memegang nyawa mereka sendiri di ujung tombak berita.