
Surabaya, 16 Juli 2025 – Istilah brain rot yang dinobatkan sebagai Kata Terpilih 2024 oleh Oxford University Press kini menjadi sorotan global. Makna harfiahnya, “pembusukan otak,” menggambarkan kemerosotan intelektual akibat konsumsi berlebihan konten daring yang tidak bermutu. Di sisi lain, brain drain atau “pengurasan otak” akibat penggunaan gawai berlebihan juga memicu kekhawatiran akan ancaman demensia digital. Namun, riset terbaru justru mengungkap sisi positif teknologi yang bisa menunda penurunan kognitif pada lansia. Benarkah teknologi digital adalah pedang bermata dua?
Istilah demensia digital, yang pertama kali diperkenalkan oleh neuropsikiater Jerman Manfred Spitzer dalam bukunya Digital Dementia (2012), merujuk pada penurunan fungsi kognitif akibat penggunaan teknologi digital berlebihan, seperti gawai dan media sosial. Meski bukan diagnosis medis resmi, konsep ini mencakup gejala seperti gangguan memori jangka pendek, kesulitan berfokus, dan penurunan kemampuan berpikir kritis, yang dikaitkan dengan brain rot (pembusukan otak) dan brain drain (pengurasan otak). Berikut adalah tinjauan riset terbaru tentang demensia digital, risiko, dan potensi manfaatnya.
Sisi Cerah Teknologi
Di tengah kekhawatiran ini, studi terbaru oleh Jared F. Benge dan Michael K. Scullin di Nature Human Behaviour (14 April 2025) menawarkan harapan. Analisis dari 57 penelitian dengan 410.000 partisipan di Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa penggunaan teknologi digital justru dapat meningkatkan fungsi kognitif dan memperlambat penurunan kognitif pada lansia. Sebanyak 51 studi melaporkan tidak ada peningkatan risiko gangguan kognitif, bahkan ada manfaat positif.
“Penggunaan teknologi bisa jadi cerminan faktor lain, seperti pendidikan tinggi atau pekerjaan yang menantang otak,” ujar Benge kepada BBC Science Focus (17 April 2025).
Namun, ia menegaskan bahwa manfaat ini bergantung pada penggunaan yang bijak.
Bahaya Tersembunyi di Balik Layar
Penggunaan gawai secara berlebihan, seperti zombie scrolling (berselancar tanpa tujuan) atau doomscrolling (mencari informasi negatif terus-menerus), ditambah ketergantungan pada kecerdasan buatan (AI), membuat otak manusia kian tumpul. Menurut Adrian F. Ward dalam Journal of the Association for Consumer Research (April 2017), gawai menghabiskan sumber daya kognitif yang terbatas, meninggalkan kemampuan otak yang minim untuk tugas lain. Akibatnya, fokus menurun, memori melemah, dan kemampuan berpikir jernih terhambat.

Brain Rot Dan Brain Drain
Lebih jauh, studi oleh Ahmed MF Yousef di Brain Sciences (7 Maret 2025) menyebut brain rot memicu kelelahan mental, menurunkan sensitivitas emosi, hingga meningkatkan risiko kecemasan, depresi, bahkan ide bunuh diri. Istilah demensia digital, yang pertama kali diperkenalkan oleh neuropsikiater Jerman Manfred Spitzer pada 2012, kini menjadi peringatan akan penurunan kemampuan berpikir akibat gawai.
Meskibukan diagnosis resmi, screen time berlebihan—terutama lebih dari 4 jam sehari—terbukti meningkatkan risiko demensia vaskular dan Alzheimer, menurut penelitian Shiqi Yuan di BMC Public Health (2 November 2023).
Data Digital 2024 Global Overview Report mencatat 66% populasi dunia terhubung ke internet, dengan rata-rata penggunaan 6 jam 40 menit per hari. Di Indonesia, angka ini lebih tinggi: 7 jam 38 menit di internet dan 3 jam 11 menit di media sosial setiap hari, menempatkan Indonesia di peringkat 9 dan 12 dunia. Dengan tren ini, risiko demensia digital kian mengintai, terutama dinegara berkembang.