DPR Terapkan WFH Saat Demo Buruh, Kompleks Parlemen Senayan Sepi Aktivitas

DPR Terapkan WFH Saat Demo Buruh, Kompleks Parlemen Senayan Sepi Aktivitas
Jakarta, 28 Agustus 2025 — Aksi unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan ribuan buruh di kawasan Senayan, Jakarta, hari ini, membawa konsekuensi langsung bagi kegiatan internal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagai langkah antisipasi terhadap potensi kericuhan, kemacetan, serta kendala keamanan, Sekretariat Jenderal DPR resmi mengeluarkan surat edaran yang menginstruksikan pegawai, aparatur sipil negara (ASN), serta tenaga ahli (TA) untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) pada Kamis, 28 Agustus 2025.
Instruksi WFH tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 14/SE-SEKJEN/2025 yang ditandatangani langsung oleh Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar. Surat edaran itu disebarkan kepada seluruh unit kerja di lingkungan DPR pada Rabu, 27 Agustus 2025, sehari sebelum aksi buruh berlangsung.
Dalam surat itu dijelaskan, pegawai yang tidak memiliki agenda penting atau pelayanan strategis diperkenankan bekerja dari rumah. Sementara pegawai dengan tanggung jawab khusus tetap diwajibkan hadir secara fisik dengan pengaturan jumlah personel. Proporsinya, sekitar 25 persen pegawai bekerja dari kantor (WFO), sementara 75 persen lainnya menjalani WFH.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, menegaskan bahwa keputusan tersebut bukanlah bentuk penghindaran tanggung jawab, melainkan langkah preventif agar pegawai DPR tidak terjebak dalam situasi sulit akibat massa aksi yang diperkirakan memadati area Senayan. “Keselamatan dan kelancaran tugas pegawai adalah prioritas. Mekanisme WFH dipilih sebagai jalan tengah agar pelayanan tetap berjalan tanpa menimbulkan risiko,” ujarnya.
Pantauan di kawasan Gedung DPR/MPR RI menunjukkan suasana berbeda dari biasanya. Area parkir, lorong-lorong gedung, hingga ruang rapat tampak sepi. Tidak ada aktivitas rapat komisi, sidang paripurna, maupun agenda resmi lainnya. Beberapa pertemuan penting yang sedianya berlangsung hari ini diputuskan untuk ditunda hingga pekan depan atau digelar secara daring.
Petugas keamanan yang berjaga menuturkan, jumlah kendaraan pegawai yang masuk ke kompleks Senayan menurun drastis dibandingkan hari-hari normal. “Hanya ada beberapa kendaraan pimpinan dan staf yang memang harus hadir,” kata seorang petugas pengamanan.
Keputusan DPR untuk mengosongkan sebagian besar kompleks Senayan sejalan dengan prediksi kepadatan lalu lintas dan kerumunan massa di sekitar gedung. Ribuan buruh yang datang dari berbagai daerah menuntut perubahan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk isu upah, sistem outsourcing, hingga perlindungan pekerja dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Tuntutan Buruh dan Aksi di Lapangan
Aksi kali ini dipimpin oleh sejumlah konfederasi besar, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang diketuai Said Iqbal. Para buruh membawa enam tuntutan utama, yakni:
- Menghapus sistem outsourcing yang dinilai merugikan pekerja.
- Menolak penerapan upah murah yang tidak sesuai kebutuhan hidup layak.
- Menghentikan praktik PHK sepihak tanpa kompensasi adil.
- Melakukan reformasi sistem pajak yang lebih berpihak kepada buruh.
- Mengganti skema omnibus law dalam RUU Ketenagakerjaan.
- Mendesak pengesahan RUU Perampasan Aset serta revisi regulasi pemilu 2029.
Said Iqbal menegaskan bahwa aksi ini bukan sekadar unjuk rasa simbolik, melainkan momen untuk mendesakkan aspirasi langsung kepada wakil rakyat. “Kami ingin berdialog dengan anggota DPR, bukan hanya berorasi di jalan. Karena DPR adalah rumah rakyat, di sinilah suara buruh seharusnya didengar,” katanya di tengah orasi massa.
Meski DPR berupaya memastikan pelayanan tetap berjalan dengan skema WFH, tidak sedikit pihak yang mengkritisi keputusan tersebut. Sebagian kalangan menilai kebijakan itu memberi kesan bahwa parlemen “menghindar” dari rakyat di saat aspirasi sedang disampaikan.
Aktivis demokrasi dari sebuah lembaga pemantau parlemen berpendapat, “DPR seharusnya hadir secara simbolis ketika rakyat datang ke Senayan. Meski ada risiko keamanan, pertemuan dengan perwakilan buruh tetap perlu dilakukan agar proses demokrasi terasa nyata.”
Namun, pihak DPR menegaskan bahwa pertemuan dengan perwakilan buruh tetap dapat dilakukan, baik secara daring maupun tatap muka terbatas, dengan memperhatikan aspek keamanan dan protokol yang berlaku