Gegap Gempita Protes Berbuah Diskresi: Bupati Pati Batalkan Kenaikan PBB 250%

Gegap Gempita Protes Berbuah Diskresi: Bupati Pati Batalkan Kenaikan PBB 250%
Pati, Jawa Tengah — Awalnya, semua berjalan seperti biasa. Warga Kabupaten Pati tengah bersiap menyambut Hari Jadi ke-702 daerah mereka, sebuah momen budaya dan kebanggaan lokal yang biasanya dirayakan dengan meriah. Namun, suasana itu mendadak berubah ketika kebijakan kontroversial pemerintah kabupaten mencuat: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.
Bagi sebagian masyarakat, angka itu bukan sekadar penyesuaian tarif—melainkan pukulan telak bagi ekonomi rumah tangga. Protes pun merebak cepat bak api yang menjalar di musim kemarau.
Kebijakan ini diumumkan tanpa banyak pengantar, seolah kenaikan sebesar itu adalah hal wajar. Padahal, banyak warga yang masih bergulat dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi dan lonjakan harga kebutuhan pokok. Keluhan mulai terdengar di warung kopi, di grup WhatsApp warga, hingga di media sosial.
Beberapa komunitas bahkan menggelar aksi simbolis: mengumpulkan koin sumbangan sebagai bentuk protes, sebuah sindiran bahwa pemerintah seolah “menguras kantong” warganya. Tagar-tagar penolakan pun muncul dan viral, menarik perhatian media lokal dan nasional.
Riak protes itu segera menarik perhatian pejabat di tingkat provinsi dan pusat. Menteri Dalam Negeri serta Gubernur Jawa Tengah turun tangan memberikan arahan langsung kepada Bupati Pati, Sudewo. Intinya jelas: kebijakan tersebut harus dikaji ulang, bahkan jika perlu dibatalkan.
Dalam situasi seperti ini, ruang manuver kepala daerah semakin sempit. Pemerintah pusat mengingatkan agar kebijakan fiskal daerah tetap mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi warga. Tekanan politik dan sosial bertemu di satu titik—menuntut adanya perubahan cepat.
Puncaknya terjadi di pendapa kabupaten, tepat pada puncak perayaan Hari Jadi Pati. Bupati Sudewo yang awalnya bersikap tegas terhadap kebijakan ini, akhirnya mengambil langkah berbalik arah. Dalam pidato yang disaksikan ribuan warga dan disiarkan media, ia menyatakan:
“Terkait kenaikan pajak hingga 250%, setelah menerima arahan Mendagri dan Gubernur, serta mendengar aspirasi warga, saya memutuskan membatalkan kenaikan tersebut.”
Keputusan ini disambut tepuk tangan sebagian warga, meski tak sedikit yang menilai langkah ini seharusnya diambil sejak awal.
Tak berhenti di situ, Bupati Sudewo juga menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Ia menegaskan bahwa tak ada niat dari pemerintah daerah untuk “merampas” atau menekan warganya.
“Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Tidak ada maksud merampas. Tujuan kami hanya agar perayaan Hari Jadi bisa berjalan lancar.”
Pernyataan ini juga menjadi upaya meredam polemik terkait ucapannya sebelumnya yang dianggap menantang warga. Sudewo menambahkan bahwa ia siap belajar dari kejadian ini dan membuka diri terhadap masukan.
Dengan pembatalan tersebut, tarif PBB di Kabupaten Pati kembali ke angka tahun 2024. Artinya, tak ada lonjakan pembayaran seperti yang dikhawatirkan warga. Meski begitu, dampak sosial dari polemik ini akan sulit dilupakan—terutama bagi warga yang sudah terlanjur merasa kurang didengar.
Kasus kenaikan PBB ini menjadi cermin dinamika hubungan antara pemerintah daerah dan warganya. Di satu sisi, pemerintah memerlukan pendapatan untuk membiayai program pembangunan dan kegiatan daerah. Namun di sisi lain, sensitivitas terhadap kondisi ekonomi masyarakat menjadi kunci keberhasilan kebijakan publik.
Intervensi Mendagri dan Gubernur membuktikan bahwa jalur komunikasi vertikal dalam pemerintahan dapat menjadi mekanisme pengaman ketika kebijakan daerah berpotensi menimbulkan keresahan luas.
Drama kenaikan PBB 250% di Pati berakhir dengan U-turn sang bupati. Keputusan ini memang meredakan kemarahan warga, tetapi juga meninggalkan catatan penting: dalam setiap kebijakan, kecepatan mendengar dan merespons suara rakyat sering kali jauh lebih berharga daripada kekakuan mempertahankan keputusan awal.