Israel Langgar Gencatan Senjata, Serangan Udara Tewaskan Puluhan Warga Palestina

0
47
https://beritaadikara.com/israel-langgar-gencatan-senjata-serangan-udara-tewaskan-puluhan-warga-palestina/

Gaza | Berita Adikara – Situasi di Jalur Gaza kembali memanas setelah militer Israel melancarkan serangkaian serangan udara pada Minggu, 19 Oktober 2025. Aksi tersebut menewaskan puluhan warga Palestina dan menghancurkan sejumlah bangunan di wilayah Rafah, Khan Younis, serta Gaza tengah. Serangan ini terjadi hanya beberapa hari setelah kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas diumumkan, memicu kecaman keras dari berbagai pihak internasional yang menilai perjanjian perdamaian itu kini di ambang kegagalan.

Pemerintah Israel menyatakan bahwa tindakan militer tersebut merupakan bentuk respons terhadap pelanggaran gencatan senjata oleh kelompok Hamas. Menurut klaim Israel, sejumlah roket ditembakkan dari Gaza menuju wilayah perbatasan selatan Israel pada Sabtu malam, menewaskan dua tentara dan melukai beberapa lainnya. Namun, pernyataan itu segera dibantah oleh Hamas yang menegaskan bahwa mereka tetap mematuhi kesepakatan gencatan senjata dan justru menuduh Israel sebagai pihak pertama yang melanggar perjanjian.

Menurut laporan dari Gaza Media Office, sejak diberlakukannya gencatan senjata pada 10 Oktober, Israel telah melakukan 47 kali pelanggaran, termasuk serangan udara, penembakan artileri, serta penangkapan warga sipil di wilayah perbatasan. Akibat pelanggaran tersebut, sedikitnya 38 warga Palestina tewas dan lebih dari 140 orang luka-luka, sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Warga di sekitar Rafah melaporkan bahwa beberapa rumah hancur total akibat gempuran udara yang terjadi menjelang subuh. Ambulans dan tim pertahanan sipil berupaya mengevakuasi korban dari reruntuhan bangunan, sementara rumah sakit di Gaza dilaporkan kewalahan menerima gelombang korban baru. “Kami baru saja mulai merasa aman setelah gencatan diumumkan. Kini, semuanya kembali seperti semula — bom, teriakan, dan ketakutan,” ujar Ahmad Al-Masri, salah satu warga Gaza yang menjadi saksi langsung kejadian tersebut.

Serangan ini juga mengakibatkan kerusakan parah pada infrastruktur vital. Beberapa jaringan listrik dan pipa air utama di wilayah selatan Gaza rusak, memperburuk kondisi hidup ribuan warga yang sebelumnya sudah kesulitan akibat blokade panjang. Bantuan kemanusiaan dari lembaga internasional yang sebelumnya mulai disalurkan kini kembali terhambat karena Israel menutup sementara akses perbatasan Rafah dengan alasan keamanan.

Hamas menuduh Israel secara sengaja memanfaatkan alasan keamanan untuk melanjutkan agresinya di Gaza. Dalam pernyataan resminya, juru bicara Hamas menyebut bahwa Israel berupaya “menggiring opini publik internasional” dengan menuduh pihaknya melanggar gencatan, padahal Israel sendiri yang memulai serangan tanpa provokasi yang jelas.

Sementara itu, kecaman datang dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan sejumlah negara Eropa. Sekretaris Jenderal PBB menyerukan agar kedua pihak segera menghentikan kekerasan dan kembali pada jalur diplomasi. “Gencatan senjata seharusnya menjadi langkah menuju perdamaian jangka panjang, bukan sekadar jeda di antara dua putaran perang,” ungkap perwakilan PBB untuk Timur Tengah dalam konferensi pers di Jenewa.

Amerika Serikat, yang sebelumnya menjadi salah satu mediator dalam perundingan gencatan senjata, menyatakan keprihatinan mendalam atas meningkatnya kekerasan tersebut. Meski begitu, Washington tetap menegaskan bahwa Israel memiliki “hak untuk membela diri”, sebuah pernyataan yang memicu kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia yang menilai AS cenderung berpihak.

Di tengah eskalasi konflik ini, kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk. Rumah-rumah sakit kehabisan obat-obatan dan bahan bakar untuk generator listrik, sementara ribuan keluarga terpaksa mengungsi ke sekolah-sekolah yang dijadikan tempat penampungan darurat. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa lebih dari 30.000 warga Gaza kini berada dalam kondisi rawan pangan dan membutuhkan bantuan segera.

Sementara itu, lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Palang Merah, mendesak agar jalur bantuan dibuka kembali tanpa syarat. Mereka memperingatkan bahwa blokade yang terus berlangsung akan mengakibatkan bencana kemanusiaan yang lebih besar. “Jika situasi ini terus berlanjut, Gaza akan menghadapi krisis kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar perwakilan UNRWA di wilayah tersebut.

Kesepakatan gencatan senjata yang diharapkan dapat menjadi awal menuju perdamaian kini tampak rapuh. Para analis menyebutkan bahwa konflik antara Israel dan Hamas selama bertahun-tahun sulit diselesaikan karena kedua pihak memiliki tujuan politik yang berbeda dan saling mencurigai.

Israel menuntut perlucutan senjata penuh dari Hamas sebagai syarat kelanjutan gencatan, sedangkan Hamas menolak dengan alasan bahwa mereka berhak mempertahankan diri selama pendudukan Israel di wilayah Palestina masih berlangsung.

Kondisi ini membuat prospek perdamaian semakin jauh dari harapan. “Setiap kali ada kesepakatan damai, selalu saja diikuti dengan pelanggaran. Ini menunjukkan betapa dalamnya luka politik dan ketidakpercayaan antara kedua pihak,” ujar seorang pengamat Timur Tengah dari Universitas Tel Aviv.

Pelanggaran gencatan senjata yang terjadi kali ini menambah panjang daftar kekerasan antara Israel dan Palestina. Serangan udara yang menewaskan puluhan warga sipil hanya mempertegas bahwa konflik ini belum menemukan titik akhir. Di balik politik dan diplomasi yang kompleks, penderitaan warga sipil tetap menjadi kenyataan paling tragis.

Jika tidak ada langkah nyata dari komunitas internasional untuk menegakkan gencatan senjata yang adil dan berkelanjutan, maka Gaza akan terus menjadi medan penderitaan tanpa akhir. Dan perdamaian, seperti yang diimpikan jutaan orang di kedua belah pihak, akan tetap menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan.

Leave a reply