Istana Bantah Kenaikan PBB Akibat Minimnya Dana Pusat, Soroti Kebijakan Daerah

Istana Bantah Kenaikan PBB Akibat Minimnya Dana Pusat, Soroti Kebijakan Daerah
Jakarta, Agustus 2025 — Istana Kepresidenan memberikan klarifikasi resmi terkait gelombang kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang terjadi di sejumlah daerah, termasuk Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kenaikan yang di beberapa wilayah mencapai angka fantastis—bahkan hingga 250 persen—telah memicu kegaduhan publik dan aksi demonstrasi di lapangan.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa kebijakan tersebut sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintah daerah masing-masing, dan tidak ada kaitannya dengan penurunan atau keterlambatan transfer anggaran dari pemerintah pusat.
“Tidak benar jika kenaikan PBB ini disebabkan minimnya transfer dana dari pusat. Kebijakan pajak adalah domain pemerintah daerah, dan setiap daerah punya pertimbangan serta mekanismenya sendiri,” ujar Prasetyo dalam konferensi pers di Istana, Rabu (14/8/2025).
Ia menjelaskan, meski pemerintah pusat melakukan efisiensi anggaran, jumlahnya relatif kecil—sekitar 4–5 persen dari total dana yang dialokasikan ke daerah. Angka tersebut, menurutnya, tidak cukup signifikan untuk dijadikan alasan menaikkan pajak secara drastis.
Di Pati, lonjakan PBB yang mencapai 250 persen langsung memantik kemarahan publik. Ribuan warga dari berbagai kecamatan turun ke jalan, memadati pusat kota, dan menuntut agar kebijakan tersebut dicabut. Spanduk-spanduk protes memenuhi area sekitar kantor bupati, dengan pesan yang lantang menolak kenaikan pajak yang dinilai memberatkan, terutama bagi petani dan pelaku usaha kecil.
Situasi memanas ketika aksi demonstrasi berlangsung hingga malam hari, dan bentrokan kecil sempat terjadi antara aparat keamanan dan massa. Beberapa orang dilaporkan mengalami luka ringan, sementara sebagian lainnya memilih bertahan di lokasi untuk menyuarakan aspirasi.
Tekanan publik yang begitu besar memaksa Bupati Pati, Sudewo, mengumumkan pembatalan kebijakan tersebut. Dalam pernyataannya, ia menyampaikan bahwa tarif PBB akan kembali ke ketentuan sebelumnya, dan warga yang telah membayar dengan nominal lebih tinggi akan mendapatkan pengembalian selisih pembayaran.
Meski kebijakan dibatalkan, kemarahan warga belum sepenuhnya mereda. Sejumlah kelompok masyarakat bahkan mulai mendorong proses politik untuk memakzulkan bupati, menilai kebijakan ini sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan yang nyata.
Istana melalui Mensesneg menekankan pentingnya kehati-hatian pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan fiskal, terutama yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat. Menurut Prasetyo, otonomi daerah memang memberi kewenangan besar bagi kepala daerah, namun tanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan dan kestabilan sosial juga harus menjadi prioritas.
Ia menambahkan, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah akan terus dilakukan untuk mencari solusi bersama. Namun, ia menegaskan bahwa pusat tidak akan ikut campur secara langsung dalam menetapkan tarif PBB-P2, demi menjaga prinsip kemandirian daerah.
Polemik kenaikan PBB di Pati dan beberapa daerah lain kini berkembang menjadi isu yang lebih besar—krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah. Banyak warga menilai bahwa komunikasi dan pertimbangan sosial dalam pembuatan kebijakan sering diabaikan, sehingga keputusan yang diambil tidak berpihak pada rakyat.
Kenaikan pajak memang bisa menjadi instrumen untuk menambah pendapatan daerah, namun tanpa perencanaan matang dan sosialisasi yang memadai, kebijakan tersebut justru berpotensi menimbulkan gejolak sosial, bahkan memicu instabilitas politik lokal.
Kasus di Pati menjadi contoh nyata bahwa kebijakan fiskal daerah, meskipun legal secara prosedur, bisa berujung pada penolakan keras jika tidak mempertimbangkan daya tahan ekonomi masyarakat. Istana berharap polemik ini menjadi pembelajaran bagi seluruh kepala daerah di Indonesia untuk lebih sensitif terhadap kondisi lapangan sebelum mengambil keputusan besar yang menyentuh kantong rakyat.