Jawa Timur Resmi Terapkan Aturan Baru Kendalikan “Sound Horeg” Demi Ketertiban dan Kesehatan Warga

0
55

Surabaya, Agustus 2025 — Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya mengambil langkah tegas untuk mengatur fenomena “sound horeg” yang kerap menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir. Melalui regulasi baru yang diumumkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan didukung oleh aparat kepolisian, penggunaan perangkat audio berdaya tinggi pada acara masyarakat kini dibatasi secara ketat, demi menjaga ketertiban umum dan melindungi kesehatan pendengaran warga.

“Sound horeg” — istilah populer untuk menyebut sistem pengeras suara dengan watt besar yang biasanya dipasang di hajatan, pesta rakyat, atau kegiatan musik jalanan — selama ini memicu pro-kontra. Di satu sisi, ia menjadi hiburan dan simbol kemeriahan acara. Namun, di sisi lain, kebisingan ekstremnya sering mengganggu lingkungan sekitar, bahkan menimbulkan keluhan kesehatan, seperti sakit kepala, gangguan tidur, hingga potensi kerusakan pendengaran.

Aturan baru ini secara rinci mengatur dua aspek utama: batas tingkat kebisingan dan jam operasional.

  • Batas kebisingan ditetapkan maksimal 70 desibel untuk area permukiman, mengikuti standar baku mutu kebisingan yang berlaku nasional.
  • Jam operasional dibatasi antara pukul 08.00–22.00 WIB, dengan pengecualian acara resmi tertentu yang mendapat izin tertulis dari pemerintah daerah.

Kepala DLH Jawa Timur, Ir. Sumarno, menegaskan bahwa langkah ini diambil setelah serangkaian aduan masyarakat dan hasil kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa paparan suara keras secara terus-menerus dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, terutama bagi anak-anak dan lansia.

“Kami tidak melarang masyarakat untuk merayakan pesta atau hajatan, tetapi semua harus mematuhi batas wajar demi kenyamanan bersama,” ujar Sumarno dalam konferensi pers di Surabaya.

Pemerintah tidak hanya memberi imbauan, tetapi juga menyiapkan sanksi administratif dan hukum bagi pelanggar.

  • Sanksi awal berupa teguran tertulis dan penyitaan peralatan.
  • Jika pelanggaran diulangi, pelaku dapat dikenakan denda hingga Rp50 juta sesuai peraturan daerah tentang pengendalian kebisingan.

Pihak kepolisian akan ikut membantu dalam proses penindakan di lapangan. Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol. Wahyu Prasetyo, menegaskan bahwa petugas tidak akan segan membubarkan acara yang terbukti melanggar aturan ini.

Kebijakan ini memunculkan respons beragam di tengah masyarakat. Sebagian warga mengapresiasi langkah tersebut, menganggapnya sebagai perlindungan terhadap hak untuk hidup dalam lingkungan yang nyaman.
“Kadang kalau ada hajatan pakai sound horeg, suaranya sampai ke rumah, bikin anak-anak susah tidur. Jadi menurut saya ini aturan yang bagus,” ujar Rina, warga Sidoarjo.

Namun, ada pula yang merasa kebijakan ini terlalu membatasi kreativitas hiburan rakyat. “Sound horeg itu bagian dari budaya pesta di kampung. Kalau dibatasi, rasanya kurang meriah,” kata Suripto, pemilik jasa sound system di Mojokerto.

Pemprov Jawa Timur berencana menggelar kampanye edukasi di seluruh kabupaten/kota untuk mengenalkan aturan ini, termasuk memberikan pelatihan kepada penyedia jasa sound system agar mereka dapat menyesuaikan volume sesuai ketentuan.

DLH juga akan menyediakan alat pengukur desibel di beberapa titik strategis untuk memantau tingkat kebisingan secara real-time, sekaligus melibatkan masyarakat dalam proses pengawasan.

Fenomena “sound horeg” yang selama ini menjadi ciri khas kemeriahan hajatan di Jawa Timur kini memasuki babak baru. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah berharap dapat menyeimbangkan antara pelestarian tradisi hiburan rakyat dan perlindungan hak warga atas lingkungan yang sehat.

Langkah tegas ini juga diharapkan menjadi contoh bagi daerah lain dalam mengatur kebisingan publik, tanpa mematikan kreativitas masyarakat. “Hiburan boleh, tapi jangan sampai mengorbankan kesehatan dan kenyamanan orang lain,” tutup Sumarno.

Leave a reply