Kejagung Perluas Penyidikan Dugaan Korupsi di Bea Cukai

Kejagung Perluas Penyidikan Dugaan Korupsi di Bea Cukai
Jakarta | Berita Adikara — Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung) terus memperlihatkan komitmennya dalam menegakkan hukum dengan menelusuri dugaan praktik korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Penyelidikan ini mencakup berbagai skema yang diduga merugikan negara, mulai dari ekspor limbah sawit (POME) hingga penyalahgunaan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan Kawasan Berikat.
Langkah tegas Kejagung ini menjadi sorotan publik karena menyentuh lembaga strategis yang berperan besar dalam menjaga arus perdagangan dan penerimaan negara. Berdasarkan temuan awal, nilai kerugian yang ditimbulkan dari praktik ilegal tersebut mencapai triliunan rupiah, dan masih berpotensi bertambah seiring pendalaman kasus.
Salah satu kasus yang kini menjadi prioritas penyidikan adalah dugaan manipulasi ekspor limbah cair kelapa sawit atau Palm Oil Mill Effluent (POME). Kejagung mengungkap bahwa terdapat indikasi kuat terjadinya penyalahgunaan dokumen ekspor yang digunakan untuk menutupi praktik penghindaran bea keluar.
Dalam penyelidikan yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kejagung telah mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan melakukan penggeledahan di beberapa lokasi penting. Ruang Informasi Kepabeanan dan Cukai (IKC) di kantor pusat DJBC menjadi salah satu titik utama yang diperiksa pada pertengahan Oktober 2025. Tak hanya itu, sejumlah laboratorium pengujian barang ekspor seperti Balai Laboratorium Bea dan Cukai (BLBC) Surabaya dan Medan juga ikut digeledah untuk mencari bukti teknis atas dugaan manipulasi data hasil uji limbah sawit.
Berdasarkan hasil sementara, ditemukan adanya kejanggalan dalam volume dan jenis barang yang diekspor. Diduga, beberapa perusahaan melakukan ekspor minyak sawit mentah atau turunannya, namun dalam dokumen dinyatakan sebagai limbah POME. Praktik ini diduga dilakukan untuk menghindari pajak ekspor yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan kerugian negara hingga miliaran rupiah per transaksi.
Kejagung juga melakukan penggeledahan terhadap rumah seorang pejabat Bea Cukai, Kepala Seksi Klasifikasi Barang I, Sofian Manahara, yang disebut memiliki kaitan dengan penerbitan dokumen ekspor bermasalah. Sejumlah dokumen dan perangkat elektronik disita untuk memperkuat bukti penyidikan.
Dirjen Bea dan Cukai, Djaka Budhi Utama, mengakui bahwa Kejagung memang tengah melakukan penyidikan terhadap jajarannya. Ia menegaskan, pihaknya siap bekerja sama secara penuh dan menghormati proses hukum yang berjalan. “Kita mendukung langkah Kejagung untuk menegakkan aturan. Kalau ada oknum yang terlibat, tentu akan ditindak sesuai ketentuan hukum,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta.
Selain kasus POME, penyidik juga menelusuri indikasi penyalahgunaan fasilitas KITE dan Kawasan Berikat di pelabuhan besar seperti Tanjung Priok dan Tanjung Emas. Fasilitas tersebut sejatinya diberikan untuk mendorong ekspor dengan pembebasan pajak impor bahan baku. Namun, diduga ada perusahaan yang memanfaatkan fasilitas ini untuk memasukkan barang konsumsi ke pasar domestik tanpa membayar bea masuk, sehingga merugikan kas negara dalam jumlah besar.
Kasus manipulasi di Bea Cukai bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, Kejagung juga memeriksa sejumlah pejabat terkait kasus korupsi impor gula dan penyalahgunaan izin dagang lintas negara. Dari hasil pemeriksaan, terungkap adanya pola yang sama — yakni penggunaan fasilitas legal untuk tujuan ilegal dengan bantuan pejabat internal yang menyalahgunakan wewenang.
Pengamat hukum dan ekonomi menilai, rangkaian kasus ini menunjukkan adanya kelemahan sistem pengawasan internal di Bea Cukai. Ketiadaan transparansi dalam proses klasifikasi barang, lemahnya sistem audit internal, serta kurangnya koordinasi antara kementerian dan lembaga menjadi faktor yang membuka peluang bagi praktik korupsi.
“Korupsi di sektor kepabeanan memiliki dampak ganda. Selain merugikan keuangan negara, praktik semacam ini juga menurunkan kepercayaan pelaku usaha dan merusak reputasi Indonesia di mata investor,” ujar salah satu analis kebijakan publik dari Universitas Indonesia.
Meski proses hukum masih berjalan, masyarakat berharap Kejagung tidak hanya menindak individu yang bersalah, tetapi juga mendorong reformasi kelembagaan di tubuh Bea Cukai. Transparansi dalam sistem digital ekspor-impor, pengawasan silang antarinstansi, serta penguatan integritas pejabat menjadi langkah penting agar kasus serupa tidak terulang.
Pemerintah pun diharapkan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan KITE dan Kawasan Berikat agar benar-benar berpihak pada pelaku usaha jujur dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini momentum penting untuk membersihkan sistem dari praktik yang merugikan negara. Jangan sampai kasus besar seperti ini berakhir tanpa perubahan nyata,” tegas salah satu anggota Komisi XI DPR RI yang membidangi keuangan dan perbankan.
Penyidikan dugaan korupsi di lingkungan Bea dan Cukai menjadi babak penting dalam upaya pemberantasan korupsi struktural di Indonesia. Dengan nilai kerugian negara yang sangat besar dan melibatkan pejabat berpengaruh, kasus ini menjadi ujian nyata bagi Kejaksaan Agung dalam menegakkan supremasi hukum tanpa pandang bulu.
Lebih dari sekadar persoalan hukum, kasus ini menegaskan bahwa pengawasan terhadap sektor perdagangan dan kepabeanan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Jika proses ini dijalankan secara serius dan tuntas, bukan tidak mungkin Indonesia dapat memperkuat kepercayaan publik dan dunia internasional terhadap integritas sistem ekonominya.










