Kejagung Tetapkan Nadiem Makarim sebagai Tersangka Dugaan Korupsi Chromebook

Kejagung Tetapkan Nadiem Makarim sebagai Tersangka Dugaan Korupsi Chromebook
Jakarta, September 2025 — Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan Nadiem Anwar Makarim, pendiri Gojek sekaligus mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan Chromebook. Proyek yang digagas pada masa pandemi ini awalnya diproyeksikan sebagai tonggak transformasi digital pendidikan Indonesia, namun kini justru menyeret nama Nadiem ke pusaran hukum yang bisa mencoreng warisan kepemimpinannya.
Proyek pengadaan laptop Chromebook senilai Rp9,3 triliun ini mulai dijalankan sejak 2020 hingga 2023. Pemerintah menyalurkan perangkat ke puluhan ribu sekolah dengan klaim 97 persen unit berhasil diterima. Chromebook dipilih dengan alasan sederhana: perangkat ini dinilai ringan, terjangkau, dan sesuai untuk mendukung pembelajaran jarak jauh di tengah pandemi.
Namun, sejak awal muncul kritik. Banyak pihak menilai Chromebook tidak sesuai dengan kebutuhan daerah terpencil yang minim jaringan internet. Perangkat ini dianggap lebih cocok untuk sekolah di perkotaan dengan akses internet stabil, sehingga tujuan pemerataan pendidikan digital tidak sepenuhnya tercapai.
Seiring berjalannya waktu, Kejaksaan Agung menemukan dugaan adanya pengaturan spesifikasi teknis yang terlalu menguntungkan satu merek, serta praktik pengadaan melalui reseller alih-alih langsung dari produsen. Investigasi juga mengungkap adanya pertemuan berulang antara pejabat kementerian dengan perwakilan Google Indonesia sebelum tender berlangsung. Hal inilah yang memicu dugaan konflik kepentingan.
Pada 4 September 2025, Kejaksaan Agung mengumumkan penetapan Nadiem sebagai tersangka setelah menemukan bukti kuat terkait indikasi penyalahgunaan kewenangan. Ia diduga berperan dalam menetapkan kebijakan spesifikasi yang mengarahkan proyek hanya pada Chromebook.
Selain Nadiem, empat orang lainnya telah lebih dulu ditetapkan tersangka, termasuk mantan pejabat dan staf khusus di Kemendikbudristek. Total kerugian negara dari proyek ini diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun. Nadiem kemudian ditahan untuk 20 hari pertama di Rutan Kejagung guna mempermudah penyidikan.
Meski sudah berstatus tersangka, Nadiem menegaskan dirinya tidak pernah terlibat dalam praktik korupsi. Ia menyatakan seluruh keputusan yang diambilnya didasarkan pada semangat mempercepat digitalisasi pendidikan di masa pandemi. Menurutnya, Chromebook dipilih bukan untuk merugikan negara, melainkan demi memfasilitasi siswa agar tetap bisa belajar ketika sekolah ditutup.
“Saya akan kooperatif. Saya percaya hukum akan menemukan kebenaran,” ujar Nadiem dalam keterangan resminya. Ia juga meminta masyarakat tidak tergesa-gesa menghakimi sebelum proses hukum selesai.
Kejaksaan masih terus menelusuri apakah ada keuntungan pribadi yang diperoleh Nadiem dari proyek ini. Fokus utama penyidikan adalah kemungkinan adanya praktik mark-up harga dan pengadaan yang tidak transparan. Dengan nilai proyek mencapai triliunan rupiah, selisih kecil saja bisa berimbas besar pada kerugian negara.
Beberapa pengamat hukum menilai kasus ini akan menjadi salah satu ujian besar bagi Kejaksaan dalam membuktikan integritas penegakan hukum. Jika terbukti, kasus Nadiem bisa menjadi preseden penting dalam upaya reformasi tata kelola pengadaan barang pemerintah.
Penetapan tersangka terhadap Nadiem Makarim tidak hanya berdampak pada dirinya secara pribadi, tetapi juga pada citra kebijakan digitalisasi pendidikan nasional. Chromebook yang dahulu digadang-gadang sebagai “senjata utama” melawan ketertinggalan teknologi di sekolah kini dipandang sebagai simbol kegagalan perencanaan.
Bagi dunia politik, kasus ini menjadi pukulan bagi reputasi generasi muda profesional yang masuk kabinet dengan citra bersih dan inovatif. Nadiem, yang sebelumnya dikenal sebagai ikon keberhasilan transformasi digital lewat Gojek, kini harus menghadapi tuduhan bahwa ia justru terjerat dalam praktik korupsi yang kerap ia kritik.
Sementara itu, di kalangan akademisi dan praktisi pendidikan, muncul kekhawatiran bahwa kasus ini akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam mendukung modernisasi sekolah. Alih-alih memperkuat digitalisasi, kasus ini justru menimbulkan trauma dan skeptisisme.
Kasus korupsi Chromebook yang menyeret Nadiem Makarim menjadi pelajaran penting bahwa digitalisasi pendidikan tidak cukup hanya dengan membeli perangkat teknologi. Transparansi, akuntabilitas, serta perencanaan berbasis kebutuhan nyata daerah harus menjadi dasar kebijakan.
Kini, mata publik tertuju pada Kejaksaan Agung. Apakah kasus ini akan benar-benar terbongkar hingga ke akar-akarnya, atau hanya menjadi catatan kontroversi singkat? Yang jelas, perjalanan hukum Nadiem akan menjadi sorotan tajam, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di mata dunia internasional yang mengenalnya sebagai salah satu ikon muda inovasi Asia.