Kekerasan di Sekitar Kampus Unisba: Ketegangan Tereskalasi, Ruang Akademik Terancam

0
50
https://beritaadikara.com/?p=2814&preview=true

Bandung, 2 September 2025 — Universitas Islam Bandung (Unisba), yang biasanya dikenal sebagai pusat aktivitas intelektual dan ruang lahirnya berbagai gagasan kritis, mendadak menjadi saksi dari sebuah peristiwa yang mengguncang dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Suasana akademik yang seharusnya aman berubah mencekam ketika aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah area kampus. Kejadian ini menimbulkan kepanikan, korban luka, serta memunculkan perdebatan besar tentang batas-batas kewenangan aparat di ruang akademik.

Rektor Unisba, Prof. Harits Nu’man, menegaskan melalui rekaman CCTV bahwa mahasiswa serta massa yang berada di sekitar kampus sebenarnya hanya mencari perlindungan dari situasi kacau di luar. Menurutnya, tidak ada aparat yang sampai memasuki area kampus, meski gas air mata tetap masuk ke dalam lingkungan kampus dan memukul mundur para mahasiswa. “CCTV jelas memperlihatkan bahwa kampus bukan arena bentrokan. Mahasiswa hanya berusaha menyelamatkan diri,” ujarnya.

Pernyataan ini penting untuk meluruskan informasi yang simpang siur. Sebab, di tengah kepulan gas air mata, banyak beredar kabar bahwa aparat masuk dan melakukan tindakan represif di dalam kampus.

Meski tidak ada aparat yang benar-benar masuk, fakta bahwa gas air mata ditembakkan ke arah kampus tetap menuai kecaman keras. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Unisba menilai tindakan tersebut mencederai marwah akademik. Kampus, menurut mereka, adalah ruang aman yang seharusnya terbebas dari intervensi kekerasan. “Kami tidak bisa menerima tindakan represif ini. Kampus adalah benteng demokrasi, bukan arena pertempuran,” tegas perwakilan HMI.

Senada dengan itu, Presiden BEM Unisba, Kamal Rahmatullah, menyebut serangan gas air mata sebagai aksi membabi buta. Ia menjelaskan banyak mahasiswa yang mengalami sesak napas, luka-luka, bahkan trauma psikologis. Kamal menyerukan agar lembaga independen seperti Komnas HAM turun tangan menyelidiki insiden ini.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi melalui Menteri Brian Yuliarto juga angkat bicara. Ia menegaskan bahwa kampus harus menjadi ruang yang merdeka, aman, dan terbebas dari tekanan fisik. “Kampus adalah rumah kebebasan berpikir. Tidak boleh ada intimidasi ataupun serangan fisik di dalamnya,” ujar Brian. Kementerian berjanji memantau kasus ini secara serius, menyediakan bantuan medis maupun psikologis bagi mahasiswa yang terdampak, serta membuka kanal pengaduan untuk memastikan hak akademik tetap terjaga.

Di sisi lain, aparat kepolisian memiliki versi yang berbeda. Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudi Setiawan, menuturkan bahwa sebenarnya polisi tidak pernah berniat menyerang kampus. Ia menyebut pihaknya justru diprovokasi oleh sekelompok massa yang melemparkan bom molotov ke arah aparat. Gas air mata, kata Rudi, ditembakkan sebagai upaya pengendalian situasi. “Kami justru dipancing masuk ke dekat kampus. Tidak ada niat menyerang,” jelasnya.

Namun, alasan ini tidak sepenuhnya meredam amarah publik. Sebab, bagaimanapun gas air mata tetap masuk ke lingkungan kampus dan mengancam keselamatan mahasiswa.

Peristiwa di Unisba mempertegas kerentanan kampus dalam situasi politik yang panas. Sejarah panjang mahasiswa Indonesia sebagai agen perubahan kembali teringat: dari 1966, 1998, hingga kini, mahasiswa selalu berada di garis depan memperjuangkan demokrasi. Namun, insiden ini menunjukkan bahwa perjuangan mereka tidak jarang berhadapan dengan risiko intimidasi, kekerasan, bahkan ancaman terhadap nyawa.

Bagi mahasiswa, gas air mata bukan hanya persoalan fisik. Lebih dari itu, ia menjadi simbol represi dan pengekangan kebebasan akademik. Ketika ruang aman akademik terancam, demokrasi pun ikut dipertaruhkan.

Kini, desakan menguat agar dilakukan penyelidikan independen dan transparan. Publik menuntut agar aparat yang terbukti melanggar prosedur dikenai sanksi hukum. Lebih jauh lagi, banyak pihak menilai negara harus memberikan jaminan bahwa kampus akan selalu steril dari kekerasan.

Insiden ini menjadi alarm keras bagi pemerintah, aparat, dan masyarakat: menjaga ruang akademik bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Hanya dengan memastikan kampus tetap aman dan merdeka, Indonesia bisa mempertahankan identitasnya sebagai negara demokratis yang menghargai suara generasi muda.

Leave a reply