Kemensos Usulkan 40 Nama Tokoh untuk Gelar Pahlawan Nasional

Kemensos Usulkan 40 Nama Tokoh untuk Gelar Pahlawan Nasional
Jakarta | berita Adikara — Dalam momentum memperingati Hari Pahlawan yang akan datang, Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) mengumumkan langkah besar dengan mengajukan 40 nama tokoh dari berbagai latar belakang untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Usulan ini diserahkan langsung oleh Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) kepada Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, di Jakarta pada Selasa, 21 Oktober 2025.
Langkah ini menandai kelanjutan komitmen pemerintah dalam memberikan penghormatan tertinggi kepada warga negara yang telah memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa dan negara. Dalam daftar tersebut, terdapat nama-nama besar yang tak asing di telinga publik, seperti Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta aktivis buruh perempuan Marsinah yang menjadi simbol perjuangan hak pekerja di Indonesia.
Menteri Sosial menjelaskan bahwa pengusulan ini bukan hasil keputusan yang terburu-buru. Seluruh nama yang masuk telah melalui kajian bertahun-tahun oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). “Beberapa nama sudah diajukan sejak lima hingga enam tahun lalu, dan baru tahun ini mencapai tahap verifikasi akhir di Kemensos,” ujar Saifullah Yusuf.
Proses pengusulan ini dimulai dari tingkat kabupaten/kota, di mana masyarakat dan ahli sejarah daerah mengajukan tokoh yang dianggap berjasa. Selanjutnya, dokumen disahkan oleh bupati atau wali kota, diteruskan ke gubernur, lalu ke Kemensos untuk dikaji di tingkat nasional oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Setelah itu, hasilnya diserahkan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk dievaluasi sebelum diajukan kepada Presiden.
Prosedur yang ketat ini dilakukan agar gelar pahlawan nasional benar-benar diberikan kepada sosok yang layak secara historis, moral, dan kontribusi nyata. “Kami memastikan seluruh calon memenuhi syarat berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan,” tegas Gus Ipul.
Dari empat puluh nama yang diajukan, sejumlah tokoh menonjol dan memicu perhatian publik. Di antaranya adalah Soeharto, tokoh militer dan Presiden RI ke-2 yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Namanya kerap menjadi perdebatan karena perannya dalam pembangunan nasional di satu sisi, dan catatan pelanggaran hak asasi manusia di sisi lain.
Selain itu, terdapat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 RI yang dikenal sebagai tokoh pluralisme dan pejuang demokrasi. Gus Dur dianggap berjasa besar dalam memperjuangkan toleransi antarumat beragama dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Nama lain yang juga menonjol adalah Marsinah, aktivis buruh perempuan dari Nganjuk, Jawa Timur, yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja pada awal 1990-an. Meskipun gugur secara tragis, kisah Marsinah menginspirasi perjuangan buruh Indonesia hingga kini.
Selain tiga nama besar itu, terdapat pula Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta yang dikenal progresif dalam pembangunan ibu kota; Jenderal M. Jusuf, tokoh militer asal Sulawesi Selatan; serta sejumlah ulama seperti K.H. Bisri Syansuri dan K.H. Muhammad Yusuf Hasyim dari Jombang yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pendidikan Islam.
Menurut Gus Ipul, usulan kali ini mencerminkan keragaman perjuangan bangsa Indonesia. Negara tidak hanya menghargai jasa dalam bidang militer, tetapi juga perjuangan sosial, ekonomi, keagamaan, dan budaya. “Setiap dari mereka memiliki kontribusi nyata bagi Indonesia dalam konteksnya masing-masing. Ada yang berjuang di medan perang, ada yang berjuang di bidang kemanusiaan, bahkan di dunia pemikiran dan seni,” ujarnya.
Ia menambahkan, pengusulan ini juga menjadi sarana edukasi bagi generasi muda agar lebih mengenal tokoh-tokoh bangsa yang selama ini mungkin belum banyak diketahui publik. “Pahlawan tidak selalu berarti mereka yang memegang senjata, tapi mereka yang memperjuangkan nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberanian moral,” tambahnya.
Ketua Dewan Gelar, Fadli Zon, menyampaikan bahwa daftar usulan ini akan segera dibahas dalam sidang Dewan Gelar sebelum hasilnya disampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk penetapan resmi. “Prosesnya akan dilakukan secara objektif dan transparan. Setiap nama akan dikaji secara mendalam berdasarkan data historis dan dampak perjuangan mereka bagi bangsa,” kata Fadli.
Jika disetujui, gelar pahlawan nasional akan dianugerahkan pada upacara kenegaraan menjelang Hari Pahlawan 10 November mendatang di Istana Negara. Keputusan ini diharapkan dapat menjadi momentum refleksi atas arti perjuangan dan dedikasi bagi Indonesia modern.
Meski sebagian besar publik menyambut positif langkah Kemensos ini, tak sedikit pula yang menyoroti sensitivitas beberapa nama, terutama Soeharto dan tokoh-tokoh dengan latar belakang politik kontroversial. Namun, banyak pihak menilai bahwa pengakuan negara terhadap jasa seseorang sebaiknya dilihat dari kontribusi luas yang ia berikan, bukan semata dari sisi politik.
Pengamat sejarah dari Universitas Indonesia, Dr. R. Bambang Suryo, menyebut bahwa pengusulan 40 nama ini mencerminkan upaya negara untuk menata ulang narasi kepahlawanan yang lebih inklusif. “Kita sedang melihat pergeseran paradigma: dari pahlawan perang menuju pahlawan nilai. Ini penting untuk membangun identitas bangsa yang lebih manusiawi dan beragam,” ujarnya.
Usulan 40 tokoh untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghormatan simbolik, tetapi bentuk pengakuan negara terhadap kontribusi berbagai elemen masyarakat dalam membangun Indonesia. Melalui langkah ini, pemerintah berupaya meneguhkan bahwa semangat kepahlawanan dapat lahir dari berbagai bentuk perjuangan — baik dari medan perang, ruang kelas, pabrik, maupun mimbar publik.
Kini, masyarakat menantikan hasil akhir dari Dewan Gelar dan keputusan Presiden. Siapa pun yang akhirnya ditetapkan, mereka akan menjadi cermin sejarah bahwa Indonesia dibangun dari keberanian, pengorbanan, dan nilai kemanusiaan yang melintasi generasi.










