Keriuhan Politik Pati: Demo Terus Berlanjut Meskipun Pajak Dicabut

0
56

Pati, 13 Agustus 2025 — Udara pagi di Alun-alun Pati dipenuhi riuh teriakan massa. Ribuan orang, dari berbagai lapisan masyarakat, berkumpul dengan spanduk dan poster di tangan. Slogannya lantang, menuntut perubahan dan meminta Bupati Sudewo untuk turun dari jabatannya. Bukan lagi sekadar protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250%, aksi ini telah bertransformasi menjadi gerakan politik rakyat yang jauh lebih besar.

Ketegangan bermula pada pertengahan Mei 2025, ketika Pemerintah Kabupaten Pati memutuskan menaikkan PBB-P2 secara signifikan. Alasan resmi yang disampaikan Bupati Sudewo adalah mengejar ketertinggalan penerimaan daerah dibanding kabupaten lain di Jawa Tengah. Namun, kebijakan ini langsung memicu keresahan warga. Di tengah kondisi ekonomi yang masih rapuh pascapandemi, beban pajak baru dianggap tidak masuk akal dan berpotensi memberatkan kehidupan rakyat kecil.

Gelombang penolakan terus menguat. Sejumlah tokoh masyarakat, aktivis, hingga perwakilan desa mulai menggalang aksi protes. Hingga akhirnya, di bawah tekanan publik yang besar, Bupati Sudewo mengumumkan pembatalan kenaikan PBB-P2 dan menjanjikan pengembalian selisih pembayaran sesuai tarif tahun 2024.

Namun, pembatalan itu ternyata tidak serta-merta meredakan kemarahan. Bagi sebagian warga, kebijakan tersebut telah menjadi bukti bahwa pemerintah daerah terlalu gegabah dalam membuat keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Hari ini menjadi puncak kemarahan warga. Diperkirakan lebih dari 85 ribu orang—bahkan ada yang menyebut mencapai 150 ribu—membanjiri jalan-jalan utama menuju Alun-alun Pati. Massa datang dari berbagai penjuru daerah, bahkan ada yang berasal dari Semarang hingga Jakarta untuk menunjukkan solidaritas.

Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, sebagai penggerak aksi, menegaskan bahwa tuntutan kini tidak lagi sebatas pencabutan kebijakan pajak. Mereka menuntut Bupati Sudewo mengundurkan diri karena dianggap telah kehilangan legitimasi moral di mata rakyat.

Di antara lautan manusia itu, tampak petani membawa karung berisi padi sebagai simbol jeritan rakyat kecil. Ada pula pedagang yang membagikan air mineral gratis untuk para peserta aksi, menunjukkan bahwa solidaritas warga tak hanya dalam bentuk suara, tapi juga tenaga dan logistik.

Menanggapi aksi besar ini, Polresta Pati mengerahkan sedikitnya 2.684 personel gabungan dari Polri, TNI, dan unsur lainnya. Jalur-jalur strategis menuju pusat kota ditutup sementara, dengan rute alternatif disiapkan untuk menghindari kemacetan total. Meski massa meluber hingga ke jalan protokol, situasi tetap kondusif. Aparat keamanan memilih pendekatan persuasif, menghindari konfrontasi, dan berupaya menjaga agar aksi tetap damai.

Suasana lapangan tidak hanya tegang, tapi juga penuh energi. Musik dari pengeras suara terdengar, orasi bergantian mengisi udara, dan teriakan “Sudewo Mundur!” menggema dari berbagai penjuru kerumunan.

Pengamat politik menilai, unjuk rasa ini adalah peringatan keras bagi kepala daerah di seluruh Indonesia. “Ini bukan hanya soal pajak. Ini soal rasa percaya. Sekali publik kehilangan kepercayaan, memulihkannya akan sangat sulit,” ujar salah satu analis kebijakan publik.

Aksi di Pati dianggap sebagai cerminan bahwa masyarakat kini lebih berani bersuara, tidak lagi pasif ketika kebijakan yang lahir dari ruang rapat elit dianggap tidak berpihak pada rakyat.

Bagi warga yang hadir, aksi ini memiliki arti yang lebih dalam. Mereka ingin mengirimkan pesan bahwa suara rakyat tidak bisa diabaikan. Bahkan setelah tuntutan awal dikabulkan, gelombang massa tetap kuat, menunjukkan bahwa inti dari perlawanan ini adalah mendesak lahirnya kepemimpinan yang transparan, partisipatif, dan peka terhadap kebutuhan warganya.

Seorang ibu rumah tangga yang datang bersama anaknya mengatakan, “Kami bukan mau ribut. Kami cuma mau pemimpin yang benar-benar mendengar dan tidak memutuskan sepihak.”


Kesimpulannya, Pati hari ini bukan sekadar menjadi arena unjuk rasa terbesar dalam sejarah kabupaten itu, melainkan panggung bagi rakyat untuk menegaskan bahwa demokrasi hidup di tangan mereka. Apa pun hasil akhirnya, aksi ini telah menorehkan catatan penting dalam perjalanan politik lokal, dan mungkin akan menjadi preseden bagi daerah lain di Indonesia.

Leave a reply