“Ketika Komedi Menyembunyikan Realitas Sosial Dalam Bernegara.”

0
24
https://beritaadikara.com/ketika-komedi-me…-dalam-bernegara/

SURABAYA| BERITA ADIKARA – Di tengah keramaian Job Fair 2025 di banyak lowongan kerja dari 21 perusahaan, bayang-bayang pengangguran tetap menghantui.

berupaya mengurangi angka pengangguran namun di luar panggung lowongan kerja, Indonesia masih menyimpan narasi yang lebih kompleks, yang diibaratkan sebagai

Republik Srimulat” sebuah metafora untuk menggambarkan realitas sosial yang diselimuti komedi dan ironis.

Di panggung “Republik Srimulat”, kehidupan publik tampak seperti teater komedi. Pemerintah, pejabat, hingga influencer berlomba menciptakan hiburan melalui jargon dan gimmick, mengemas blunder dengan humor ringan, seperti musik organ tunggal yang menutupi kesalahan.

Baliho berisi janji usang, konferensi pers yang mengkilap namun kosong makna, hingga kebijakan yang dibungkus istilah-istilah lucu seperti:

“pemutihan lahan” atau “relaksasi pajak dosa”, menjadi bagian dari skenario ini. Hukum pun tak luput dari dramaturgi: amnesti dan abolisi diberikan bukan untuk pembela kebenaran, melainkan untuk figur-figur dengan rekam jejak pidana yang mencolok, seolah hukum bisa dijahit ulang dengan senyuman.,

https://beritaadikara.com/ketika-komedi-me…-dalam-bernegara/

“pemutihan lahan” atau “relaksasi pajak dosa”, menjadi bagian dari skenario ini. Hukum pun tak luput dari dramaturgi: amnesti dan abolisi.

Namun di balik tawa yang diproduksi, rakyatpenonton setia yang membayar “tiket” melalui pajakmenyimpan keresahan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2025 mencatat 9,9 juta pengangguran terbuka, petani terjerat utang sektor pertanian sebesar Rp82 triliun, dan 160.000 tenaga kesehatan non-ASN masih menanti kepastian status. Mereka menonton sandiwara ini dengan tepuk tangan yang dipaksakan, sementara kecemasan tersimpan rapi di hati.

Dulu, kelompok komedi Srimulat menggunakan humor sebagai perlawanan halus terhadap hegemoni dan represi. Kini, humor justru menjadi alat kekuasaan untuk meredam kritik.

Satire yang “patuh” diproduksi secara resmi, sementara tawa liar seperti lelucon komika, karikatur, atau meme warga kerap berujung pada jerat hukum,

  • Kasus Mamat Alkatiri (Mei 2023) yang dilaporkan karena candaan tentang polisi,
  • Karikaturis di Pamekasan (Januari 2024) yang dituduh menghina tokoh publik.
  • Negara seolah memonopoli tawa, menganggap gelak yang tak terkendali sebagai ancaman.

Meski demikian, di sela-sela skenario resmi, muncul harapan baru. Generasi muda menulis ulang naskah melalui kanal YouTube investigatif, puisi di media sosial, dan film independen yang mengemas fakta dalam absurditas.

Mereka mengembalikan fungsi humor sebagai alat penerang, bukan sekadar hiburan sesaat. Dalam “Republik Srimulat” ini, rakyat bukan lagi sekadar penonton, tetapi juga penulis dan pengawas kebenaran, yang berupaya mengembalikan makna pada tawa yang telah lama kehilangan ketajamannya.

TagsHukum

Leave a reply