Kontroversi Game Upin & Ipin Universe, Masih Layak Dibeli?

0
20
Kontroversi Game Upin & Ipin Universe, Masih Layak Dibeli?

Game Upin & Ipin Universe, yang sempat menjadi buah bibir di jagat maya usai perilisannya pada 17 Juli 2025, kini tengah diterpa gelombang kritik dari komunitas gamer. Padahal saat pertama kali diumumkan, antusiasme publik cukup tinggi terutama karena game ini diangkat dari salah satu animasi terpopuler di Asia Tenggara. Dikembangkan oleh Streamline Studios dan didistribusikan di berbagai platform seperti PlayStation 4, PlayStation 5, Nintendo Switch, serta PC melalui Steam dan Epic Games Store. Game ini sempat masuk keranjang lebih dari 50 ribu pengguna sebelum resmi dirilis.

Popularitas Upin & Ipin Universe melonjak seiring dengan banyaknya konten kreator yang memainkan game ini di kanal YouTube mereka. Beberapa nama besar seperti Windah Basudara dan Dyland Pros turut mempopulerkan game tersebut melalui sesi streaming. Namun, hanya berselang beberapa hari setelah perilisannya, gelombang kritik mulai berdatangan. Tiga hal utama yang dikeluhkan komunitas adalah harga game yang dinilai tidak sepadan, banyaknya bug dalam permainan, serta masalah hak cipta yang menyulitkan konten kreator dalam memonetisasi konten mereka.

Masalah pertama yang menjadi sorotan adalah harga game yang dianggap terlalu mahal. Di Indonesia, game ini dijual seharga Rp 579 ribu untuk PlayStation, Rp 654 ribu untuk versi PC, dan sekitar Rp 653 ribu di Nintendo Switch. Banyak gamer membandingkannya dengan game AAA lain seperti Cyberpunk 2077, Red Dead Redemption 2, atau The Last of Us, yang meski memiliki harga serupa, namun menawarkan pengalaman visual dan gameplay yang jauh lebih mendalam serta kompleks. Beberapa dari game tersebut bahkan menghabiskan dana ratusan juta dolar dalam pengembangannya. Dalam konteks ini, Les Copaque Production sebagai pemilik lisensi menyatakan bahwa harga tersebut sudah sesuai, namun tanggapan ini justru menimbulkan kekecewaan baru di kalangan penggemar.

Selain harga, aspek teknis juga menuai banyak kritik. Para pemain menemukan sejumlah bug yang mengganggu jalannya permainan. Sejumlah ulasan di platform seperti Steam menyebutkan bahwa kualitas teknis game ini belum matang. Tidak hanya gamer Indonesia, pengguna dari Malaysia juga menyuarakan hal serupa. Pihak Les Copaque melalui Creative Director Khairul Amran menanggapi keluhan ini dengan menyatakan bahwa mereka akan terus merilis patch untuk memperbaiki bug, dan bahwa kejadian seperti ini umum terjadi di industri game pasca peluncuran. Ia juga menekankan bahwa feedback dari komunitas gamer menjadi masukan penting bagi tim pengembang.

Namun kritik tidak berhenti di situ. Komunitas kreator konten juga menghadapi persoalan terkait hak cipta. Sejumlah streamer tidak dapat memonetisasi video mereka karena terkena klaim hak cipta pada musik dalam game. Bahkan, beberapa video milik kreator besar seperti Windah Basudara sempat diblokir atau kehilangan akses iklan. Hal ini diperparah dengan tindakan Les Copaque yang sempat menggunakan potongan video milik Windah sebagai materi promosi tanpa izin langsung, meskipun akhirnya video tersebut telah dihapus dari kanal media sosial resmi mereka.

Terkait isu tersebut, Ahmad Razuri selaku Pengarah Kreatif menjelaskan bahwa hak atas musik game dipegang oleh publisher, dan klaim copyright terjadi secara otomatis. Ia menyarankan agar konten kreator mematikan musik saat merekam gameplay untuk menghindari pelanggaran. Sementara itu, Nur Naquyah Burhanuddin dari tim kreatif Les Copaque menyatakan bahwa mereka telah meminta maaf kepada Windah Basudara secara langsung dan tengah berupaya mengembalikan hak monetisasi kepada para konten kreator dengan berkoordinasi bersama publisher dan platform streaming.

Isu terakhir yang sempat mencuat adalah tudingan bahwa pihak pengembang tidak membayar gaji karyawan. Rumor ini beredar luas di media sosial dan beberapa forum komunitas. Namun pihak Les Copaque dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Mereka mengklaim telah menggelontorkan dana sebesar 15 juta ringgit Malaysia untuk mendanai pengembangan game selama tiga tahun terakhir, dan menyebut bahwa klaim tidak dibayarnya developer merupakan berita palsu yang menyesatkan.

Meski telah memberikan klarifikasi, respons Les Copaque terhadap berbagai permasalahan tersebut tetap menuai kritik. Banyak yang menilai bahwa tanggapan mereka terkesan tidak sensitif terhadap konteks pasar Asia Tenggara yang memiliki daya beli berbeda dibanding pasar Barat. Ditambah lagi, saran untuk mematikan musik demi menghindari copyright dianggap mengurangi pengalaman bermain secara keseluruhan.

Dengan segala polemik yang menyertai perilisannya, Upin & Ipin Universe menjadi contoh bagaimana antusiasme tinggi terhadap IntellectualProperty populer bisa berubah menjadi krisis reputasi jika tidak diimbangi dengan kualitas produk dan komunikasi yang efektif. Les Copaque Production masih memiliki peluang untuk memperbaiki keadaan, namun langkah cepat dan responsif terhadap komunitas gamer tampaknya menjadi kunci utama dalam menjaga keberlangsungan game ini di masa depan.

Leave a reply