Kontroversi Universitas Indonesia Undang Akademisi Pro-Israel

Kontroversi Universitas Indonesia Undang Akademisi Pro-Israel
Depok, 25 Agustus 2025 — Universitas Indonesia (UI) tengah menjadi sorotan publik setelah keputusan kontroversialnya mengundang Peter Berkowitz, akademisi dari Hoover Institution, Stanford University, dalam acara Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) Program Pascasarjana UI 2025. Kehadiran Berkowitz menimbulkan polemik lantaran ia dikenal sebagai figur yang mendukung kebijakan Israel, sebuah negara yang hingga kini dikritik keras atas agresinya terhadap Palestina.
Menurut pihak UI, undangan kepada Berkowitz didasari semata-mata oleh alasan akademik. Ia diminta untuk menyampaikan gagasan seputar pendidikan, demokrasi, dan perkembangan ilmu sosial humaniora di tingkat global. UI menegaskan bahwa materi yang disampaikan tidak menyinggung konflik Israel-Palestina ataupun kebijakan luar negeri yang ia dukung. Dengan demikian, universitas menganggap keberadaannya hanya sebagai salah satu upaya menghadirkan perspektif internasional bagi mahasiswa pascasarjana.
Namun, fakta bahwa Berkowitz selama ini dikenal luas sebagai akademisi yang mendukung langkah militeristik Israel membuat publik mempertanyakan keputusan UI. Sejumlah pihak menilai pemilihan pembicara semacam ini mencerminkan kelalaian universitas dalam melakukan verifikasi latar belakang narasumber.
Kontroversi semakin membesar setelah berita tersebut menyebar di media sosial. Banyak warganet menyuarakan kekecewaan, bahkan sebagian menuding UI telah melakukan normalisasi terhadap praktik penjajahan dan kekerasan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina.
Salah satu suara keras datang dari Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute, yang menyatakan bahwa undangan UI terhadap Berkowitz adalah bentuk pengabaian nilai-nilai kemanusiaan. Menurutnya, langkah itu tidak sejalan dengan sikap Indonesia yang selama ini konsisten membela Palestina. Kritik serupa juga bergema dari berbagai kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat, hingga tokoh akademisi lain yang menilai UI seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih narasumber.
Di media sosial X (Twitter), pernyataan pedas bertebaran. Salah satu akun menulis bahwa UI “membela genosida” dengan memberikan panggung kepada sosok yang jelas-jelas berpihak pada Israel. Kritik ini mendapat ribuan interaksi, menunjukkan tingginya sensitivitas publik terhadap isu Palestina.
Menanggapi gelombang protes tersebut, pihak UI akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi. Melalui humasnya, UI menyampaikan permintaan maaf dan mengakui adanya kekhilafan dalam proses seleksi narasumber. Mereka menegaskan, tujuan utama mengundang Berkowitz adalah untuk memperkaya wawasan mahasiswa dari sudut pandang akademik global, bukan memberikan dukungan politik terhadap Israel.
UI juga mengingatkan bahwa kampus selalu berkomitmen mendukung perjuangan rakyat Palestina. Hal ini ditegaskan kembali dengan mengacu pada kunjungan resmi Duta Besar Palestina ke UI beberapa waktu lalu, di mana universitas menyatakan sikapnya yang sejalan dengan politik luar negeri Indonesia: menolak segala bentuk penjajahan.
Lebih jauh, pihak universitas berjanji akan memperketat proses seleksi narasumber pada kegiatan akademik berikutnya. Mereka menegaskan bahwa ke depan, setiap pemilihan pembicara harus mempertimbangkan bukan hanya kualitas akademis, tetapi juga sensitivitas sosial dan politik yang mungkin timbul.
Kontroversi ini membuka perdebatan lebih luas mengenai posisi universitas di tengah isu global yang sarat muatan politik. Di satu sisi, perguruan tinggi dituntut untuk memberikan kebebasan akademik serta ruang bagi mahasiswa untuk mendengar beragam perspektif. Namun, di sisi lain, universitas sebagai institusi pendidikan tidak bisa mengabaikan tanggung jawab moral, terutama ketika topik atau figur tertentu bersinggungan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi bangsa.
Kasus UI menjadi pelajaran bahwa kebebasan akademik tidak boleh dilepaskan dari konteks etika dan sensitivitas publik. Dalam situasi global di mana penderitaan rakyat Palestina masih nyata, memberikan ruang bagi sosok yang berpihak pada Israel dapat menimbulkan luka kolektif, terutama di Indonesia yang sejak lama dikenal sebagai salah satu negara paling vokal dalam mendukung Palestina.
Dengan permintaan maaf yang disampaikan, Universitas Indonesia berharap dapat meredam gelombang kritik yang muncul. Namun, peristiwa ini tetap menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan: bahwa setiap keputusan akademik, terutama yang melibatkan figur internasional, harus dilakukan dengan pertimbangan matang, tidak hanya dari aspek keilmuan tetapi juga dari nilai kemanusiaan dan komitmen kebangsaan.
Kasus Berkowitz di UI bukan sekadar insiden kelalaian, melainkan refleksi atas tantangan besar dunia akademik di era globalisasi: bagaimana menjaga integritas intelektual tanpa mengorbankan tanggung jawab sosial.perti berita media mainstream?