Mengenal LMKN KONTROVERSI MUSIK : LMKN Harus Buka Informasi dan Berlaku Transparan.

Mepresentasikan kepentingan pencipta dan pemilik Hak Terkait, yang terdiri atas LMKN Pencipta dan LMKN Pemilik Hak Terkait. Banyak yang menuntut agar lembaga-lembaga ini diaudit
SURABAYA| BERITA ADIKARA – Isu royalti musik di Indonesia sedang ramai dibicarakan, terutama setelah muncul dugaan bahwa lembaga seperti LMK, LMKN, dan WAMI melakukan pungutan liar atas nama para musisi.
LMKN adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik. LMKN sendiri berdiri atas amanah terbitnya UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
LMKN merupakan lembaga bantu pemerintah non-APBN yang dibentuk oleh menteri berdasarkan Undang-Undang mengenai Hak Cipta.
Disebutkan dalam Pasal 18, LMKN merepresentasikan kepentingan pencipta dan pemilik Hak Terkait, yang terdiri atas LMKN Pencipta dan LMKN Pemilik Hak Terkait.
Banyak yang menuntut agar lembaga-lembaga ini diaudit secara menyeluruh dan dikenai tindakan hukum jika terbukti melanggar, untuk menghentikan praktik yang merugikan.
Pemilik Mie Gacoan mengaku sudah mencoba bernegosiasi dengan LMKN soal tarif royalti, tapi tawaran harganya ditolak. Ia bilang,
“Kami mau bayar, tapi kalau harganya tidak masuk akal, ya sulit dipaksakan.” Akibat isu ini, suasana di mal-mal besar di Jakarta jadi lebih sepi karena pengelola mematikan musik latar, hanya terdengar suara orang berjalan dan ngobrol.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menegaskan bahwa pengelola mal sudah tertib membayar royalti. Mereka bahkan pernah dapat penghargaan dari Menteri Hukum dan HAM sebagai asosiasi paling aktif bayar royalti.
BPKN minta LMKN buka informasi soal tarif dan cara hitungnya, buat sistem digital untuk salurkan royalti langsung ke musisi tanpa potongan, dan sosialisasi lebih luas agar semua paham aturan dari awal. Musisi seperti Ariel NOAH bilang laporan royalti dari LMKN masih pakai Excel manual, yang bikin bingung dan rawan manipulasi.
Armand Maulana dari GIGI, yang juga ketua VISI, setuju dan curiga karena hitungan manual mudah diubah-ubah. LMKN bilang belum pakai teknologi canggih karena biayanya mahal. Komisaris LMKN Yessi Kurniawan jelaskan.
“Teknologi butuh biaya tinggi, sementara royalti yang terkumpul masih kecil.”
Komisaris lain, Bernard Nainggolan, tambah bahwa anggaran LMKN maksimal 20% untuk operasional, jadi sulit beli teknologi tanpa potong royalti musisi. Mereka harap pemerintah bantu anggaran agar royalti bisa naik ratusan persen dengan sistem lebih baik. Intinya, royalti penting untuk musisi, tapi transparansi dan teknologi jadi kunci agar tidak ada dugaan pungli.