Mengenang Prof. Oemar Seno Adji: Pelopor Hukum Pers Indonesia

BERITA ADIKARA – Nama Prof. Oemar Seno Adji dikenang sebagai salah satu tokoh hukum yang berjasa besar dalam memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.
Kutipan terkenalnya, “Kebebasan pers diakui oleh undang-undang tentang ketentuan pokok pers, suatu kebebasan yang tidak libertarian, tidak mutlak sifatnya, melainkan bergerak dalam restriksi yang diperkenankan,”
Mencerminkan pandangannya tentang pentingnya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab dalam dunia jurnalistik. Kontribusinya yang tak lekang oleh waktu di bidang hukum pers telah meninggalkan jejak abadi, termasuk diabadikannya nama beliau pada ruang sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan ruang pertemuan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Latar Belakang dan Kiprah Akademik Prof. Oemar Seno Adji lahir di Surakarta pada 5 Desember 1915, sebagai putra Raden Tumenggung Tjitrobanudjo, bupati di Keraton Mangkunegaran, Solo. Ia memulai pendidikan hukumnya di Rechtshogeschool, Jakarta, setelah menamatkan pendidikan di MULO Solo dan AMS Yogyakarta. Kariernya di bidang hukum dimulai pada 1946 sebagai pegawai di Departemen Kehakiman hingga 1949.
Ia kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada 1949.
Karier gemilangnya berlanjut sebagai Jaksa Agung Muda (1950–1959), sebelum akhirnya menjadi Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1966–1968). Pada era Orde Baru, ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman (1968–1973) di Kabinet Pembangunan I dan kemudian menjadi Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (1974–1982), menggantikan R. Soebekti. Dalam perjalanannya, ia dikenal sebagai tokoh yang gigih memperjuangkan kebebasan pers dengan pendekatan hukum yang terukur.
Kontribusi dalam Hukum Pers Prof. Oemar Seno Adji mendefinisikan pers dalam dua makna: secara sempit sebagai wujud kebebasan pers (freedom of press) dan secara luas sebagai kebebasan berbicara serta berekspresi (freedom of speech dan freedom of expression).
Ia menegaskan bahwa kebebasan pers harus bebas dari intervensi pemerintah, seperti sensor atau pembredelan, namun tetap memiliki batasan hukum untuk mencegah penyalahgunaan, seperti penyebaran berita bohong atau penghasutan.
Pada era Orde Baru, ketika kebebasan pers terhambat oleh kebijakan seperti Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC), Prof. Oemar menentang keras praktik pembredelan.
Warisan Pemikiran Kontribusi Prof. Oemar Seno Adji di bidang hukum pers tercermin dalam berbagai karya tulisnya, seperti Mass Media dan Hukum, Aspek-Aspek Hukum Pers, dan Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Ia menekankan bahwa kebebasan pers bersifat limitatif, di mana pers memiliki tanggung jawab untuk mematuhi nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban umum, dan keutuhan bangsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pandangannya tetap relevan di era digital, di mana kebebasan berekspresi di media sosial sering kali disertai tantangan seperti penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Peninggalan Abadi Warisan Prof. Oemar Seno Adji tidak hanya terlihat dari pemikirannya, tetapi juga dari pengabdiannya sebagai akademisi dan pejabat publik. Nama beliau diabadikan sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya dalam memajukan hukum pers dan keadilan di Indonesia.
Sebagai generasi penerus, kita diajak untuk menjaga dan mengawal gagasan Prof. Oemar Seno Adji, agar kebebasan pers di Indonesia tetap terjaga dengan penuh tanggung jawab. Warisannya bukan hanya sejarah, tetapi juga fondasi kokoh bagi kemajuan bangsa.