“Payment ID Uji Coba Pada 17 Agustus: Solusi Transaksi atau Ancaman Privasi?”

0
43
https://beritaadikara.com/payment-id-uji-c…-ancaman-privasi/

SURABAYA | BERITA ADIKARA – Sistem Payment ID, yang digadang-gadang sebagai solusi untuk menyederhanakan transaksi digital di Indonesia, kini menuai sorotan tajam. Sistem ini mengintegrasikan identitas tunggal dengan data pembayaran, memungkinkan pelacakan menyeluruh terhadap aktivitas ekonomi setiap individu. Mulai dari pembelian kecil seperti secangkir kopi hingga transfer antar-teman atau donasi, semua dapat terekam secara rinci. Para kritikus menilai, sistem ini tidak sekadar mencatat transaksi, melainkan merekam jejak lengkap kehidupan seseorang, yang berpotensi menggerus privasi secara signifikan.

Kekhawatiran Privasi dan Pengawasan Berlebihan

Dengan memadukan Payment ID dengan teknologi seperti algoritma pemetaan sosial dan kecerdasan buatan (AI), pemerintah atau institusi tertentu dapat memantau perilaku ekonomi masyarakat secara real-time. Data transaksi termasuk yang tampak sepele seperti isi ulang pulsa bisa diolah untuk menganalisis kebiasaan, preferensi, hingga keterkaitan seseorang dengan kelompok tertentu. Kritikus memperingatkan, profiling massal semacam ini dapat dilakukan tanpa persetujuan atau keterbukaan kepada publik, sementara jaminan keamanan data dinilai lemah, membuka peluang penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Sistem ini kerap dikemas dengan alasan “keamanan” atau “peningkatan layanan publik.” Namun, menurut para pengkritik, narasi tersebut justru menjadi pintu masuk bagi pengawasan permanen. Berbeda dengan kamera pengawas yang hanya mencatat lokasi fisik, Payment ID mampu mengakses dimensi psikologis dan finansial individu mengidentifikasi kapan seseorang sedang rentan atau memiliki dana berlebih. Hal ini memungkinkan sistem menandai individu yang dianggap “menyimpang” dari pola yang ditentukan, berpotensi mengarah pada diskriminasi atau pembatasan akses.

Lebih jauh, Payment ID dapat menjadi alat untuk membentuk perilaku melalui kontrol finansial. Individu yang tidak sesuai dengan standar sistem berisiko kehilangan akses ekonomi, seperti kemampuan bertransaksi atau mendapatkan layanan dasar. Kritikus menyoroti bahwa sistem ini mengikuti tren global sentralisasi identitas, di mana akses ke pendidikan, kesehatan, hingga hak politik bisa bergantung pada satu titik kendali. Akibatnya, kekuasaan beralih dari masyarakat ke pengelola sistem, menciptakan ketimpangan yang sulit ditantang.

Efek psikologisnya pun tak kalah mengkhawatirkan. Masyarakat akan hidup dalam kecemasan konstan, bukan karena takut pada hukum, melainkan pada sistem yang tak terlihat. Ketergantungan pada Payment ID dapat memaksa kepatuhan tanpa kekerasan fisik, hanya dengan ancaman dikucilkan dari ekosistem ekonomi. Dalam jangka panjang, ini bisa menumbuhkan mentalitas tunduk yang lahir dari kebutuhan bertahan hidup.

https://beritaadikara.com/payment-id-uji-c…-ancaman-privasi/

Transaksi PAYMENT ID

Transparansi dan Risiko Krisis

Kekhawatiran lain muncul dari minimnya transparansi dalam pengembangan sistem ini. Kritikus menilai, sosialisasi publik sering kali hanya formalitas, sementara kritik diabaikan sebagai gangguan, bukan masukan berharga. Keputusan cenderung diambil oleh kelompok elit teknologi tanpa pengawasan memadai, meninggalkan masyarakat sebagai penerima pasif tanpa kuasa atas data mereka sendiri.

Dalam situasi krisis, seperti bencana ekonomi, Payment ID berpotensi menjadi alat seleksi yang diskriminatif. Negara bisa menentukan siapa yang berhak mendapat bantuan berdasarkan data transaksi, yang belum tentu mencerminkan kebutuhan riil. Selain itu, data yang terkumpul rentan disalahgunakan oleh pihak ketiga—baik korporasi untuk pemasaran manipulatif maupun aktor politik untuk kampanye terselubung—meningkatkan risiko eksploitasi lebih lanjut.

Payment ID, yang awalnya ditujukan untuk mempermudah transaksi, kini dilihat sebagai fondasi pengawasan berbasis data yang invasif.

Sistem ini tidak hanya mengancam privasi, tetapi juga mengubah dinamika kekuasaan antara rakyat dan pengelola teknologi. Ketika transaksi sehari-hari menjadi alat kontrol, masyarakat berisiko terjebak dalam lingkaran pengawasan yang nyaris tak terelakkan.

Kritikus menekankan perlunya diskusi publik yang inklusif dan pengawasan ketat agar sistem ini tidak berubah menjadi instrumen yang justru merugikan rakyat yang seharusnya dilayani.

Leave a reply