Pemerintah Tetapkan Aturan Baru Royalti Musik, Era Perlindungan Kreator Lokal Dimulai

Pemerintah Tetapkan Aturan Baru Royalti Musik, Era Perlindungan Kreator Lokal Dimulai
Jakarta, Juli 2025 — Dunia musik Indonesia memasuki babak baru. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Regulasi ini digadang-gadang akan menjadi tonggak penting bagi sistem royalti nasional yang lebih adil, transparan, dan menguntungkan bagi para pencipta, komposer, artis rekaman, produser, hingga pemegang hak terkait lainnya.
Kebijakan ini lahir sebagai bentuk koreksi atas keluhan lama para seniman musik tentang sistem royalti yang selama ini dinilai rumit, tidak akurat, dan bahkan sering merugikan pencipta lagu karena distribusinya tidak tepat sasaran.
Apa Saja Yang Diatur? Ini Poin-Poin Penting PP 24/2025
- Tarif royalti dibagi berdasarkan jenis usaha
- Hotel, restoran, kafe, pusat perbelanjaan, salon, maskapai, angkutan umum, ruang tunggu bandara-stasiun-terminal, hingga event organizer dan platform digital streaming kini wajib membayar royalti untuk penggunaan musik.
- Kewajiban registrasi bagi pelaku usaha
- Semua tempat yang memutar musik untuk kepentingan komersial diwajibkan mendaftarkan usahanya secara resmi ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
- Sistem pencatatan digital berbasis real-time
- Sensor, watermark, dan server pintar akan digunakan untuk mendeteksi seberapa sering lagu diputar — sehingga royalti bisa dibayarkan sesuai data pemutaran aktual, bukan berdasarkan pelaporan manual.
- Distribusi royalti diawasi langsung LMKN
- LMKN sebagai regulator akan melakukan audit rutin kepada berbagai LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang bertugas menyalurkan royalti ke pemilik hak cipta.
- Sanksi bagi pelanggar
- Pelaku usaha yang enggan membayar royalti bisa dikenakan denda administratif, pencabutan izin usaha, hingga penutupan tempat usaha jika terbukti mempergunakan musik tanpa izin.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menjelaskan bahwa PP baru ini diterbitkan untuk memastikan bahwa pelaku ekonomi kreatif — khususnya pencipta dan musisi — mendapatkan hak ekonomi mereka secara layak. Ia berharap aturan ini menjadi jawaban atas “kesenjangan royalti” selama ini, di mana banyak seniman menerima pembayaran yang sangat kecil meskipun karyanya diputar di banyak tempat.
Respon dari insan musik cukup positif:
- Komposer senior Erwin Gutawa mengapresiasi langkah pemerintah, namun mengingatkan perlunya penegakan secara serius agar tidak berhenti sebagai aturan di atas kertas.
- Musisi muda seperti Pamungkas menyambut baik sistem digital, namun menyarankan agar proses registrasi dan pelaporan disederhanakan agar UMKM musik seperti kafe mini dan bar independen tidak kesulitan mengikuti regulasi.
Sementara itu, beberapa pengelola usaha mengaku butuh waktu untuk beradaptasi, terutama terkait sistem pelaporan digital yang baru.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan menjalankan uji coba sistem digital di lima kota besar: Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, dan Yogyakarta mulai Agustus–Desember 2025. Setelah dinilai siap, kewajiban sistem ini akan diberlakukan secara nasional pada awal 2026.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2025 membawa harapan besar bagi masa depan ekosistem musik nasional. Dengan pendekatan digital, transparansi, dan penegakan hukum yang tegas, pemerintah ingin memastikan bahwa setiap nada yang diputar, kembali pada pencipta dan pemiliknya.
Keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada peraturan, tetapi juga pada dukungan industri usaha, kedisiplinan para pengelola tempat hiburan, serta kesadaran publik untuk menghargai karya intelektual anak bangsa.