Pengabaian Kritik sebagai Bentuk Akibat Penyalahgunaan Konstitusi Demokrasi

protes bermula dari pemblokiran pemerintah terhadap puluhan platform media sosial
Surabaya | Berita Adikara – Unjuk rasa adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi menjamin hak-hak dasar warga negara, termasuk berkumpul, berorganisasi, menyuarakan opini, keamanan pribadi, serta perlindungan hak asasi manusia. Sayangnya, praktik politik dan respons aparat menciptakan kesenjangan besar antara prinsip konstitusional dan realitas tata kelola negara.
Kedaulatan rakyat diwujudkan melalui lembaga perwakilan seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang secara konstitusional bertugas menyusun undang-undang, mengawasi eksekutif, mengelola anggaran nasional, serta merepresentasikan suara publik. DPR seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat, menjaga kualitas legislasi, dan mencegah kebijakan eksekutif yang merugikan kepentingan umum.
Realitasnya, DPR justru tampak lebih setia pada agenda elite daripada konstituennya. Proses pembentukan undang-undang sering kali dilakukan tanpa keterlibatan masyarakat yang substansial, dan puncak ketidakadilan terlihat dari kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah kondisi ekonomi yang morat-marit.
Situasi ini menjadi momen krusial bagi institusi negara untuk memperbaiki relasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dengan menerapkan substantive constitutionalism yang menekankan kedaulatan rakyat dan hak-hak konstitusional. DPR wajib membuka akses luas bagi partisipasi masyarakat, terutama dalam proses legislasi, serta berperan sebagai penyeimbang eksekutif bukan sekadar alat stempel kebijakan pemerintah.
DPR dan pemerintah harus segera bertransformasi dalam menanggapi suara rakyat, agar tidak memicu kemarahan yang lebih masif dan destruktif
Hubungan dengan Kejadian Demonstrasi di Nepal
Kejadian demonstrasi massal di Nepal yang dipicu oleh Generasi Z sejak 5 September 2025 menawarkan paralel mencolok dengan situasi di Indonesia, seolah menjadi cermin gelap dari abusive constitutionalism yang sama. Di Nepal, protes bermula dari pemblokiran pemerintah terhadap puluhan platform media sosial, yang dianggap sebagai upaya membungkam kritik terhadap korupsi dan nepotisme di kalangan elite.

Situasi ini menjadi momen krusial bagi institusi negara untuk memperbaiki relasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
Eskalasi cepat berubah menjadi kekacauan: demonstran membakar rumah Perdana Menteri dan Menteri Keuangan, memasang bendera One Piece sebagai simbol pemberontakan, hingga menyebabkan 30 korban tewas akibat respons represif aparat.,
Puncaknya pemerintahan kolaps dan militer mengambil alih kendali untuk memulihkan ketertiban di Kathmandu pada 10 September 2025.
Namun, kejadian Nepal menjadi peringatan bagi Indonesia: tanpa substantive constitutionalism, demonstrasi yang awalnya damai bisa berujung pada kolaps institusi, seperti yang dialami Nepal di mana militer berkuasa sebagai solusi darurat.
Pemerintahan Prabowo berpeluang menghindari nasib serupa dengan segera membuka dialog, memastikan partisipasi rakyat dalam legislasi, dan menolak pendekatan otoriter, sehingga mencegah “infeksi” konflik sosial yang lebih dalam, sebagaimana diperingatkan Landau. Ini bukan hanya soal menangani demo Agustus 2025, tapi membangun fondasi demokrasi yang tangguh agar Indonesia tak mengikuti jejak Nepal.
Leave a reply Batalkan balasan
-
Hukum dan Teknologi: Tantangan Regulasi di Era Digital
11 Maret 2025 -
Rahayu Saraswati, Keponakan Presiden Prabowo, Resmi Mundur dari DPR
11 September 2025