Penjarahan & Pembakaran Fasum pasca Demo: Adanya Indikasi Provokator Dari Pihak Tidak Bertanggungjawab

0
97
https://beritaadikara.com/?p=2729&preview=true

Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai daerah Indonesia pada akhir Agustus 2025 berubah menjadi salah satu episode paling kelam dalam dinamika sosial-politik negeri ini. Awalnya, massa turun ke jalan untuk menuntut keadilan bagi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas tragis setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. Namun, amarah yang membara seketika bergeser menjadi kerusuhan besar yang merusak wajah kota: rumah pejabat diserbu, fasilitas umum dibakar, hingga muncul indikasi adanya pihak yang sengaja memprovokasi kericuhan.

Kemurkaan massa tidak hanya diarahkan pada aparat, tetapi juga melebar ke simbol-simbol kekuasaan. Beberapa rumah anggota DPR menjadi target amukan. Di kawasan Jakarta Timur, rumah milik Eko Patrio dirusak dan dijarah. Pintu dan jendela dipecahkan, barang-barang elektronik diangkut, bahkan kucing peliharaan turut diambil. Peristiwa ini menandai betapa aksi protes telah berubah menjadi pelampiasan kemarahan terhadap figur politik.

Tidak berhenti di situ, rumah Ahmad Sahroni di Tanjung Priok juga mengalami nasib serupa. Massa yang marah menerobos pagar, merusak perabotan, dan membawa kabur barang-barang bernilai tinggi, mulai dari kulkas, brankas berisi uang asing, hingga koleksi action figure yang selama ini dikenal sebagai hobi mahal sang legislator. Adegan penjarahan yang viral di media sosial itu menambah dramatisasi suasana bahwa jarak antara rakyat dan elit politik sedang berada pada titik rawan.

Di sisi lain, kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani di kawasan Bintaro turut menjadi sasaran. Massa yang datang pada dini hari membongkar isi rumah dan menjarah sejumlah barang mewah. Aksi ini menunjukkan bahwa keresahan publik telah menjalar menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap pejabat yang dianggap mewakili ketidakadilan ekonomi.

Kerusuhan juga merambah infrastruktur kota. Di Jakarta, halte-halte TransJakarta dibakar, lampu lalu lintas dirusak, hingga gerbang tol dan kamera CCTV hancur berantakan. Aksi vandalisme bahkan menyasar fasilitas MRT di kawasan Istora, di mana mesin penjual tiket dan peralatan elektronik lainnya dihancurkan. Pemandangan jalan ibu kota berubah menjadi puing-puing akibat amarah yang tidak terkendali.

Kondisi serupa terjadi di sejumlah daerah lain. Di Surabaya, massa membakar kantor DPRD dan menyerang Gedung Grahadi, simbol pemerintahan daerah. Di Makassar, tragedi lebih kelam terjadi ketika massa menyulut gedung parlemen daerah, menyebabkan kebakaran hebat yang menewaskan sedikitnya tiga orang. Fasilitas publik yang seharusnya menjadi milik bersama akhirnya menjadi korban dalam gelombang amarah ini.

Melihat eskalasi situasi, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah cepat dan tegas. Ia memerintahkan agar tunjangan DPR dipangkas serta perjalanan dinas luar negeri anggota legislatif dihentikan, merespons tuntutan utama demonstran yang menilai fasilitas wakil rakyat terlalu berlebihan. Namun, di sisi lain, Prabowo juga mengeluarkan peringatan keras terhadap tindakan anarkis yang terjadi di lapangan.

Dalam pidatonya, Presiden menyatakan bahwa sebagian aksi massa sudah melewati batas, bahkan mendekati kategori “terorisme dan pengkhianatan.” Instruksi pun dikeluarkan kepada TNI dan Polri untuk menindak tegas pelaku kerusuhan dalam koridor hukum. Keputusan ini memperlihatkan bahwa pemerintah mencoba menyeimbangkan antara merespons aspirasi rakyat sekaligus menjaga stabilitas nasional.

Tak hanya itu, Presiden juga menunda kunjungan kerja ke luar negeri, termasuk ke Tiongkok, untuk memusatkan perhatian pada krisis domestik. Ia menegaskan komitmen pemerintah dalam mengusut tuntas kasus tewasnya Affan Kurniawan secara transparan, agar penyebab utama gelombang protes tidak terlupakan.

Meski kemarahan massa tampak nyata, aparat keamanan menduga adanya pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi untuk memperkeruh keadaan. Kapolda Metro Jaya menyebut bahwa sebagian besar perusakan fasilitas umum tampak dilakukan secara sistematis, bukan spontan. Laporan saksi mata juga menyebut adanya kelompok berpakaian sipil yang menyusup ke dalam barisan demonstran, memicu bentrokan dengan aparat, bahkan memprovokasi massa untuk melakukan penjarahan.

Isu provokator ini memperumit dinamika kerusuhan, sebab dapat mengaburkan tujuan awal demonstrasi yang sejatinya menuntut keadilan. Bagi sebagian pengamat, keberadaan aktor-aktor tersembunyi ini membuat gelombang protes kehilangan arah dan berubah menjadi konflik horizontal yang merugikan masyarakat luas.

Kerusuhan yang meletus pasca tragedi Affan Kurniawan memperlihatkan bagaimana kemarahan rakyat bisa berubah menjadi energi destruktif bila tidak dikelola. Rumah pejabat yang dijarah dan fasilitas publik yang dibakar menandai pergeseran protes dari tuntutan moral menjadi aksi balas dendam simbolik.

Namun di balik itu, ada pesan kuat yang tidak boleh diabaikan: ketidakpuasan publik terhadap ketimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan jarak antara rakyat dengan elit. Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar: menjawab aspirasi dengan keadilan, sekaligus memastikan negara tidak tenggelam dalam pusaran kekacauan.

Leave a reply