Refleksi Hari Santri, Ahmad Tamim: Santri Harus Mampu ‘Membaca Zaman’ dan Melek Digital

Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), H. Ahmad Tamim, S.H.I., M.H
SURABAYA |BERITA ADIKARA – Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), H. Ahmad Tamim, S.H.I., M.H., menyatakan bahwa Peringatan Hari Santri Nasional yang jatuh setiap 22 Oktober menjadi momentum penting untuk merefleksikan peran historis kaum santri sekaligus menatap tantangan masa depan.
Menurut H. Ahmad Tamim, ditetapkannya Hari Santri melalui Keputusan Presiden merupakan bentuk pengakuan negara atas jasa para ulama dan santri. Ia menekankan semangat “Jas Hijau”, yakni “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah Ulama”.
H. Ahmad Tamim menjelaskan, peringatan ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari.
Resolusi tersebut mewajibkan setiap muslim yang berada dalam radius Masyafatil Qosri jarak yang diperbolehkan untuk men-jama’ dan qasar salat untuk mengangkat senjata membela tanah air dari upaya pendudukan kembali oleh tentara sekutu.
“Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 itu terbukti menjadi pemantik utama yang membakar semangat perlawanan rakyat, yang puncaknya adalah Pertempuran 10 November di Surabaya. Ini menegaskan kaitan erat antara fatwa ulama dengan perjuangan kemerdekaan,” paparnya.
Lebih lanjut, H. Ahmad Tamim menyoroti tantangan yang dihadapi santri di era modern. Setelah kemerdekaan diraih, tugas santri beralih dari perjuangan fisik menjadi “mengisi kemerdekaan”.
“Tantangannya tidak ringan. Kita masih melihat adanya pandangan bahwa dunia pendidikan pesantren menghadapi tantangan kesetaraan (ekivalensi) jika dibandingkan dengan pendidikan umum. Lulusan pesantren masih ada yang dinilai menghadapi hambatan di sektor formal,” ungkapnya.
Menjawab hal ini, H. Ahmad Tamim memaparkan konsepsi yang jelas mengenai peran santri di era modern.
Menurutnya, seorang santri tidak lagi cukup hanya mampu “membaca kitab” (menguasai ilmu-ilmu agama klasik), tetapi juga harus mampu “membaca zaman” (memahami dan merespons konteks kekinian).
Santri masa depan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungan serta melek terhadap perkembangan teknologi digital.
Modernisasi Pesantren dan Peran Negara, Konsepsi santri adaptif tersebut, lanjut Tamim, menuntut adanya perubahan dalam ekosistem pendidikan pesantren.
Ia mendorong agar pesantren, baik dari aspek sarana prasarana maupun kurikulum, harus berani beradaptasi dengan modernisasi dan mengintegrasikan literasi digital.
“Payung hukum telah ada, seperti lahirnya Undang-Undang tentang Pesantren secara nasional dan Peraturan Daerah (Perda) Pesantren di Provinsi Jawa Timur. Komitmen implementasi di lapangan inilah yang menjadi kunci,” jelasnya.
Sebagai anggota legislatif, H. Ahmad Tamim berharap aktualisasi dari berbagai regulasi tersebut, khususnya Perda Pesantren di Jatim, tidak berhenti sebagai formalitas legal.
“Regulasi ini harus diwujudkan dalam bentuk program yang nyata dan berkelanjutan (kontinyu), untuk memastikan santri Indonesia mampu bersaing dan berkontribusi optimal sesuai tuntutan zamannya,” pungkasnya.