Ribuan Petani Gelar Aksi Hari Tani Nasional: Desak Reforma Agraria dan Cabut UU Cipta Kerja

Ribuan Petani Gelar Aksi Hari Tani Nasional: Desak Reforma Agraria dan Cabut UU Cipta Kerja
Hari ini, Rabu (24/9/2025), ribuan petani dari berbagai organisasi berkumpul di Jakarta untuk menggelar aksi unjuk rasa memperingati Hari Tani Nasional. Demonstrasi yang dipusatkan di kawasan Patung Kuda, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, menjadi momentum penting bagi para petani untuk menyuarakan aspirasi, terutama terkait isu agraria yang dinilai masih jauh dari keadilan.
Sejak pagi, massa petani terlihat memadati jalanan sekitar Monas dengan atribut khas. Mereka mengenakan caping sebagai simbol identitas petani, membawa spanduk berisi tuntutan, hingga memamerkan hasil bumi seperti padi, pisang, dan labu. Kehadiran mereka bukan hanya sekadar simbolis, tetapi juga menunjukkan bahwa perjuangan reforma agraria sejati masih jauh dari harapan.
Polda Metro Jaya bersama TNI dan instansi terkait menurunkan 8.340 personel gabungan untuk menjaga jalannya aksi di kawasan Gedung DPR/MPR RI dan seputar Monas. Selain itu, 1.438 personel lalu lintas disiagakan untuk mengatur arus kendaraan di titik-titik strategis.
Sejumlah ruas jalan utama di sekitar Patung Kuda dan Monas terpaksa dialihkan. Petugas kepolisian menutup beberapa akses dengan barikade besi untuk mencegah penumpukan kendaraan. Rekayasa lalu lintas ini dilakukan agar aksi berjalan kondusif tanpa mengganggu aktivitas masyarakat secara luas.
Para demonstran yang tergabung dalam organisasi seperti Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) membawa sederet tuntutan yang dianggap penting untuk menyelamatkan masa depan petani dan kedaulatan pangan nasional.
Beberapa poin tuntutan utama yang mereka sampaikan antara lain:
- Penyelesaian konflik agraria yang kerap menimbulkan kriminalisasi terhadap petani di berbagai daerah.
- Pengalokasian tanah perkebunan dan kehutanan yang dikuasai korporasi besar menjadi bagian dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
- Revisi Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Reforma Agraria, karena dianggap tidak berpihak pada kepentingan petani kecil.
- Perubahan sejumlah undang-undang seperti UU Pangan, UU Kehutanan, dan UU Koperasi agar lebih mendukung kesejahteraan petani.
- Pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai memperparah ketimpangan agraria dan membuka peluang monopoli tanah oleh korporasi.
- Pembentukan Dewan Nasional Reforma Agraria serta Dewan Kesejahteraan Petani untuk menjamin konsistensi kebijakan jangka panjang.
Menurut mereka, tanpa langkah konkret tersebut, petani akan terus berada pada posisi rentan. Bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga hak atas kesejahteraan yang seharusnya dilindungi negara.
Pihak kepolisian maupun penyelenggara aksi sama-sama mengingatkan agar demonstrasi berlangsung damai. Isu penyusupan oleh kelompok yang ingin memanfaatkan momentum untuk membuat kericuhan menjadi perhatian serius.
Ketua Pemuda Bersatu Bergerak, Hakan, menegaskan bahwa demonstrasi adalah hak konstitusional warga negara, tetapi harus dijalankan dengan tertib. Ia berharap massa tidak terprovokasi pihak-pihak yang ingin menunggangi aksi.
Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September sebagai momentum untuk mengenang lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. UUPA dianggap sebagai pijakan awal bagi cita-cita reforma agraria di Indonesia, yaitu pemerataan penguasaan tanah untuk kemakmuran rakyat.
Namun, enam dekade lebih berlalu, semangat UUPA dinilai belum sepenuhnya terwujud. Konflik agraria masih marak, distribusi tanah tidak merata, dan petani kecil kerap berada di posisi paling lemah ketika berhadapan dengan perusahaan besar atau kebijakan negara yang tidak berpihak.
Aksi Hari Tani Nasional tahun ini menjadi cermin bahwa cita-cita reforma agraria sejati belum tuntas. Dengan membawa hasil bumi ke jalanan ibu kota, petani ingin mengingatkan pemerintah bahwa pangan dan tanah adalah fondasi kedaulatan bangsa yang tidak boleh dikomersialisasi.
Dalam orasinya, sejumlah tokoh petani menekankan bahwa perjuangan mereka bukan semata untuk kepentingan kelompok, melainkan untuk masa depan bangsa. Tanah yang dikuasai secara adil akan melahirkan kedaulatan pangan, mengurangi ketimpangan sosial, serta memperkuat ekonomi pedesaan.
“Tanah bukan hanya soal lahan, tapi soal hidup. Kalau tanah terus dikuasai korporasi, petani akan kehilangan masa depannya, dan bangsa ini kehilangan kedaulatannya,” ujar salah satu orator.
Aksi memperingati Hari Tani Nasional hari ini menjadi momentum refleksi sekaligus peringatan bagi pemerintah. Ribuan petani yang turun ke jalan menyuarakan aspirasi adalah cermin masih banyak pekerjaan rumah di sektor agraria.
Dengan pengamanan ketat dan tuntutan yang tegas, aksi ini diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan konflik agraria, memperbaiki kebijakan pertanahan, serta mencabut regulasi yang dianggap merugikan petani.
Lebih dari sekadar demonstrasi tahunan, peringatan Hari Tani Nasional ini adalah panggilan agar reforma agraria sejati segera diwujudkan demi kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan Indonesia.