Sudan di Ambang Kehancuran: Ribuan Warga Jadi Korban di Tengah Krisis Kemanusiaan Terburuk

0
18
https://beritaadikara.com/sudan-di-ambang-kehancuran-ribuan-warga-jadi-korban-di-tengah-krisis-kemanusiaan-terburuk/

Sudan | Berita Adikara — Kekerasan yang terus berkecamuk di Sudan telah memasuki babak yang semakin mengerikan. Setelah lebih dari 18 bulan konflik bersenjata antara Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF), kota El Fasher di wilayah Darfur kini sepenuhnya jatuh ke tangan pasukan RSF. Kota yang sebelumnya menjadi salah satu benteng terakhir pemerintah Sudan itu kini berubah menjadi puing-puing, dengan ribuan korban jiwa dan jutaan warga sipil terperangkap dalam ketakutan dan penderitaan yang tak berkesudahan.

Berdasarkan laporan AP News dan Al Jazeera, El Fasher kini menjadi simbol keputusasaan di tengah konflik yang terus membara. Setelah serangan tanpa henti, pasukan RSF berhasil merebut kendali kota dengan mengerahkan kekuatan penuh, termasuk penggunaan artileri berat di area padat penduduk. Ribuan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, dilaporkan menjadi korban akibat serangan membabi buta yang tak mengenal batas kemanusiaan.

Gambar-gambar satelit yang dirilis oleh lembaga kemanusiaan internasional menunjukkan wilayah pemukiman yang rata dengan tanah, serta sisa-sisa rumah sakit yang sebelumnya menjadi tempat perlindungan kini hancur lebur. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan lebih dari 460 pasien dan tenaga medis tewas akibat serangan yang menargetkan fasilitas kesehatan di kota tersebut. Banyak dari mereka meninggal di tempat karena tidak sempat dievakuasi.

Juru bicara WHO mengecam keras tindakan tersebut, menyebutnya sebagai “serangan brutal terhadap nilai kemanusiaan.” WHO juga menegaskan bahwa serangan terhadap tenaga medis dan pasien adalah pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang.

Sejak konflik ini pecah pada April 2023, Sudan telah mengalami salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern Afrika. Data dari PBB menunjukkan lebih dari 14 juta warga Sudan kini mengungsi baik di dalam negeri maupun ke negara-negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Ethiopia. Banyak di antara mereka hidup tanpa akses air bersih, makanan, atau tempat tinggal yang layak.

Kondisi di kamp-kamp pengungsian pun tidak jauh lebih baik. Laporan dari lapangan menyebutkan bahwa penyakit seperti kolera dan malaria mulai menyebar cepat, diperparah oleh minimnya fasilitas kesehatan. Anak-anak menjadi kelompok paling rentan, dengan angka kekurangan gizi yang meningkat drastis dalam beberapa bulan terakhir.

Organisasi bantuan internasional menghadapi tantangan besar dalam menyalurkan bantuan ke wilayah konflik. Banyak jalur logistik yang terputus, sementara konvoi kemanusiaan kerap menjadi sasaran penjarahan atau serangan bersenjata. “Kami berada di titik terendah,” ujar salah satu relawan kemanusiaan dari Médecins Sans Frontières (MSF). “Tanpa jaminan keamanan, kami tak bisa menjangkau mereka yang paling membutuhkan.”

Konflik di Sudan bermula dari perseteruan politik dan militer antara dua kekuatan utama: SAF yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan RSF di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau dikenal sebagai Hemedti. Ketegangan antara keduanya meningkat sejak kudeta militer 2021 yang menggagalkan transisi menuju pemerintahan sipil pasca penggulingan Omar al-Bashir.

Awalnya, kedua kelompok militer tersebut berjanji untuk berbagi kekuasaan, namun perebutan pengaruh atas sumber daya alam — terutama tambang emas di Darfur — membuat kesepakatan itu hancur. Kini, konflik yang semula bersifat politik berubah menjadi perang terbuka dengan dimensi etnis dan ekonomi yang kompleks. RSF dituduh melakukan pembersihan etnis terhadap kelompok non-Arab di Darfur, sebuah tuduhan yang mengingatkan dunia pada tragedi genosida di wilayah yang sama dua dekade lalu.

Reaksi internasional terhadap situasi Sudan terus menguat. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Afrika, dan Uni Eropa mengeluarkan kecaman keras terhadap pembunuhan massal yang terjadi di El Fasher. Bahkan, Paus Leo I dalam pernyataannya di Vatikan menyebut tragedi di Sudan sebagai “luka mendalam bagi kemanusiaan” dan menyerukan gencatan senjata segera demi membuka akses bantuan bagi warga sipil.

Meski demikian, langkah konkret dari komunitas internasional masih minim. Upaya diplomatik untuk mencapai gencatan senjata berulang kali gagal karena kedua pihak menolak mundur dari posisi masing-masing. Beberapa negara di kawasan seperti Mesir dan Arab Saudi mencoba menjadi mediator, namun hingga kini belum ada hasil yang nyata.

Dengan jatuhnya El Fasher, kekuatan RSF semakin dominan di wilayah barat Sudan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan fragmentasi negara, di mana Sudan bisa terpecah menjadi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh milisi bersenjata. Para analis memperingatkan bahwa jika situasi ini terus berlanjut, Sudan berisiko menjadi “negara gagal” dengan potensi penyebaran konflik ke negara tetangga.

Sementara itu, jutaan warga Sudan hanya bisa berharap pada keajaiban. Di tengah puing-puing kota, mereka bertahan hidup dengan apa yang tersisa, menunggu bantuan yang belum tentu datang. Anak-anak bermain di reruntuhan, para ibu mencari air di sumur kering, dan suara tembakan masih sesekali terdengar di kejauhan.

Sudan hari ini berdiri di tepi jurang kemanusiaan. Perang yang tak kunjung berakhir telah menghancurkan kota, memecah bangsa, dan menelan ribuan nyawa tak berdosa. Dunia tidak bisa terus memalingkan muka. Jika tidak ada langkah nyata untuk menghentikan kekerasan dan membuka akses kemanusiaan, tragedi Sudan akan menjadi noda hitam baru dalam sejarah kemanusiaan global — sebuah luka yang akan sulit disembuhkan bagi rakyatnya, dan bagi hati nurani dunia.

Leave a reply