“The Burnout Society”: Refleksi tentang Kelelahan Diri di Era Kompetisi Modern.

Han menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai arena kompetisi yang tak henti-hentinya mendorong individu untuk terus berprestasi.
SURABAYA| BERITA ADIKARA – Dalam buku The Burnout Society, filsuf Korea-Jerman Byung-Chul Han mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat modern yang kehilangan kemampuan untuk berhenti sejenak dan merenung secara mendalam.
Ditengah limpahan data dan informasi, Han menyoroti bahwa manusia justru semakin miskin makna, terperangkap dalam kelelahan yang bukan hanya bersifat pribadi, tetapi juga merupakan fenomena sosial dan sejarah.
Han menggambarkan masyarakat kontemporer sebagai arena kompetisi yang tak henti-hentinya mendorong individu untuk terus berprestasi.
Berbeda dari masa lalu, di mana kekuasaan diibaratkan sebagai penjara dengan aturan ketat sebagaimana dijelaskan oleh Michel Foucault dalam konsep masyarakat disipliner, tekanan kini muncul dari dalam diri sendiri.S
Bisikan internal seperti “Kamu pasti bisa, sedikit lagi” menjadi pemicu kelelahan yang tak terelakkan.
Han menegaskan bahwa stres dan kelelahan tidak hanya dialami secara individu, tetapi mencerminkan karakter masyarakat yang didorong oleh egoisme dan semangat kompetitif.
Mengutip pandangan filsuf Bertrand Russell, Han menyinggung bahwa anggapan kebahagiaan dapat dicapai melalui kemenangan dalam persaingan adalah keliru. Persaingan, yang kerap dihubungkan dengan prinsip Darwinisme sosial tentang
“survival of the fittest”, menempatkan egoisme sebagai inti dari motivasi individu.
Akibatnya masyarakat modern terjebak dalam ketegangan antara kebutuhan individu dan kolektif, yang pada akhirnya menghasilkan kelelahan baik dalam kerangka individualisme maupun kolektivisme.
Melalui The Burnout Society, Han tidak hanya mengkritik dinamika masyarakat modern, tetapi juga mengajak pembaca untuk memahami kelelahan sebagai cerminan zaman. Bagaimana masyarakat memaknai dan menghadapi kelelahan ini, menurut Han, akan menentukan arah dan karakter peradaban di masa depan.
Buku ini menjadi pengingat bahwa di tengah hiruk-pikuk kompetisi, manusia perlu kembali belajar untuk berhenti, merenung, dan menemukan makna yang lebih dalam.