Tiga Tahun Tragedi Kanjuruhan: Luka yang Belum Sembuh, Keadilan yang Masih Dicari

0
35
https://beritaadikara.com/tiga-tahun-tragedi-kanjuruhan-luka-yang-belum-sembuh-keadilan-yang-masih-dicari/

Malang, Jawa Timur | Berita Adikara – Tiga tahun sudah berlalu sejak tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada 1 Oktober 2022. Namun, luka dan trauma yang ditinggalkan masih terasa mendalam hingga hari ini. Tragedi yang menewaskan 135 orang dan melukai ratusan lainnya itu bukan sekadar catatan hitam dalam sejarah sepak bola Indonesia, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar mengenai keadilan yang belum sepenuhnya terjawab.

Tragedi Kanjuruhan terjadi usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Saat itu, kerusuhan pecah setelah tim tuan rumah kalah di kandang sendiri. Aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton, meski FIFA secara tegas melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Aksi tersebut memicu kepanikan. Ribuan penonton berdesakan menuju pintu keluar yang sebagian tertutup dan sempit. Situasi berakhir tragis: ratusan jiwa melayang, ratusan lainnya luka-luka, dan trauma berkepanjangan dialami keluarga korban maupun penyintas.

Kini, tiga tahun setelah kejadian, masyarakat Malang dan keluarga korban kembali menggelar doa bersama untuk mengenang para korban. Di Stadion Kanjuruhan dan beberapa titik lain di Malang Raya, seperti halaman belakang Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA), ribuan orang berkumpul, menyalakan lilin, dan berdoa dengan khidmat. Momen itu penuh haru, menjadi pengingat bahwa tragedi kemanusiaan ini tak boleh dilupakan begitu saja.

Peringatan tiga tahun tragedi Kanjuruhan tidak lepas dari perhatian aparat keamanan. Polresta Malang Kota menetapkan status Siaga 1 selama periode 30 September hingga 2 Oktober 2025. Sebanyak 1.300 personel gabungan dikerahkan di berbagai titik strategis untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Langkah ini dilakukan bukan hanya untuk menjaga keamanan, tetapi juga memberikan rasa aman bagi keluarga korban dan masyarakat yang hadir.

Meski begitu, suasana tetap emosional. Air mata keluarga korban kembali menetes mengenang orang-orang tercinta yang tak akan pernah kembali. Banyak yang membawa foto-foto almarhum, bunga, dan spanduk bertuliskan tuntutan keadilan.

Bagi keluarga korban, tiga tahun bukanlah waktu yang cukup untuk mengobati luka. Mereka masih menuntut keadilan yang utuh. Vonis yang dijatuhkan kepada beberapa terdakwa dinilai terlalu ringan, bahkan ada yang dibebaskan. Restitusi yang diberikan pun dianggap tidak manusiawi. Bayangkan saja, ada keluarga korban yang hanya menerima Rp 15 juta sebagai kompensasi atas kehilangan nyawa anggota keluarganya. Jumlah itu dirasa tidak sebanding dengan penderitaan yang harus mereka tanggung seumur hidup.

Banyak keluarga mengaku kecewa dengan jalannya persidangan. Mereka menilai bahwa aktor intelektual yang seharusnya bertanggung jawab belum sepenuhnya tersentuh hukum. Pertanyaan besar masih menggantung: siapa yang memberi perintah penggunaan gas air mata di dalam stadion? Mengapa pintu stadion tidak sesuai standar keamanan internasional? Pertanyaan-pertanyaan itu hingga kini belum mendapat jawaban yang memuaskan.

Dampak tragedi tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis. Banyak penyintas yang masih mengalami trauma hingga kini. Beberapa korban selamat mengalami luka serius yang meninggalkan bekas seumur hidup, baik secara medis maupun mental. Ada yang mengalami gangguan tidur, ada pula yang masih sulit menonton pertandingan sepak bola tanpa merasa takut.

Cerita-cerita memilukan terus bermunculan. Seorang remaja korban tragedi pernah koma berhari-hari akibat pendarahan otak. Setelah sadar, ia mengalami gangguan ingatan yang memengaruhi masa depannya. Di sisi lain, anak-anak kecil yang kehilangan orang tua dalam tragedi itu kini tumbuh tanpa sosok ayah atau ibu, membawa luka batin yang sulit terhapuskan.

Bagi keluarga korban, peringatan tiga tahun tragedi Kanjuruhan bukan sekadar mengenang, tetapi juga memperjuangkan agar kejadian serupa tidak terulang. Mereka menuntut reformasi total dalam manajemen pertandingan sepak bola Indonesia. Hal-hal seperti standar keamanan stadion, manajemen kerumunan, dan prosedur pengendalian massa harus diperbaiki.

Penggunaan gas air mata di stadion harus benar-benar dihentikan, sesuai regulasi FIFA. Pintu stadion harus diperlebar, dan jumlah pintu keluar harus memadai untuk mengantisipasi kepadatan. Aparat keamanan juga diharapkan lebih mengedepankan pendekatan humanis dalam menjaga pertandingan.

Tiga tahun setelah tragedi Kanjuruhan, luka masih menganga. Keadilan masih dicari. Trauma masih dirasakan. Namun, peringatan ini juga menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak boleh melupakan tragedi kelam yang menewaskan 135 jiwa tersebut.

Harapan ke depan, tragedi ini bisa menjadi titik balik bagi dunia sepak bola Indonesia. Tidak hanya soal keadilan bagi para korban, tetapi juga pembenahan menyeluruh agar stadion benar-benar menjadi tempat aman untuk merayakan olahraga, bukan kuburan massal akibat kelalaian.

Leave a reply