Tinjauan Yuridis, Pemiskinan Koruptor dan Penghapusan Fasilitas Mewah Merupakan Langkah Konstitusi

Seorang Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik menyebutkan, jika ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, praktik korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merampas hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga penindakannya pun harus menggunakan instrumen hukum
SURABAYA | BERITA ADIKARA – Wacana pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia didorong untuk tidak lagi sekadar berfokus pada pidana badan, melainkan bergeser pada penerapan sanksi yang memberikan dampak penderitaan nyata secara ekonomi melalui pemiskinan aset.
Langkah penegakan hukum yang berfokus pada pemiskinan aset dan pengetatan standar lembaga pemasyarakatan ini dinilai bukan hanya soal efek jera, melainkan bentuk kepatuhan terhadap amanat konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Seorang Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik menyebutkan, jika ditinjau dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, praktik korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merampas hak sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga penindakannya pun harus menggunakan instrumen hukum. yang luar biasa (extraordinary measures).
Landasan Hukum Pemiskinan Aset
Dalam perspektif hukum pidana, wacana pemiskinan koruptor memiliki landasan yang kuat. Instrumen hukum untuk melumpuhkan kemampuan finansial pelaku sebenarnya telah tersedia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Penerapan UU TPPU memungkinkan penegak hukum untuk mengejar aset hasil kejahatan (follow the money) yang disamarkan, bukan hanya menghukum pelakunya (follow the suspect).
Selain itu, optimalisasi Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 . UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pembayaran uang pengganti harus dimaksimalkan hingga pelaku benar-benar tidak dapat menikmati hasil kejahatannya,” ungkap pengamat tersebut.
Ia menambahkan, urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset juga menjadi kunci agar negara dapat merampas aset yang tidak dapat dibuktikan asal-usulnya secara sah, tanpa harus menunggu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) yang berlarut-larut.
Kesetaraan di Mata Hukum (Equality Before the Law)
Sementara itu, menanggapi isu fasilitas mewah di dalam penjara, hal tersebut dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa ‘Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’.
“Adanya sel mewah atau perlakuan khusus bagi narapidana korupsi jelas mencederai prinsip Equality Before the Law. Tidak boleh ada diskriminasi positif bagi koruptor.
Ketika hak kemerdekaan mereka dicabut oleh pengadilan, maka standar pemasyarakatan harus sama dengan narapidana lainnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, regulasi sistem pemasyarakatan harus dikembalikan pada muruahnya untuk memberikan efek jera, bukan memberikan kenyamanan bagi mereka yang telah merugikan keuangan negara.
Penegakan hukum yang tegas, tanpa pandang bulu, dan berorientasi pada pemulihan kerugian negara adalah satu-satunya jalan untuk mengembalikan wibawa hukum di Indonesia.










