Tragedi Ponpes Al Khoziny: Evakuasi Usai, Penyelidikan Hukum Dimulai

0
66
https://beritaadikara.com/tragedi-ponpes-al-khoziny-evakuasi-usai-penyelidikan-hukum-dimulai/

Sidoarjo | Berita Adikara — Suasana duka masih menyelimuti Pondok Pesantren Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah sembilan hari penuh kerja keras tanpa henti, proses evakuasi terhadap korban ambruknya bangunan musala di lingkungan pesantren itu akhirnya dinyatakan selesai. Tim gabungan dari Basarnas, TNI, Polri, BPBD, dan berbagai relawan mengakhiri operasi besar tersebut dengan hasil yang menyisakan perasaan haru sekaligus pilu bagi seluruh masyarakat.

Runtuhnya musala pesantren pada akhir September 2025 telah meninggalkan luka mendalam bagi banyak pihak. Tak hanya keluarga korban, tetapi juga seluruh santri, tenaga pengajar, dan warga sekitar yang sehari-hari berinteraksi dengan pesantren ini. Kini, setelah seluruh korban ditemukan, perhatian publik beralih pada proses hukum dan upaya pemulihan psikologis pasca tragedi.

Berdasarkan laporan resmi dari Basarnas dan BNPB, total korban terdampak dalam insiden ini mencapai sekitar 171 orang. Dari jumlah tersebut, 104 orang dinyatakan selamat, sementara 67 orang meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan bangunan. Selain itu, petugas juga menemukan delapan bagian tubuh yang masih dalam proses identifikasi oleh tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jawa Timur.

Dari korban yang selamat, beberapa di antaranya masih menjalani perawatan intensif di rumah sakit akibat luka berat dan trauma fisik. Sementara sebagian lainnya sudah diperbolehkan pulang setelah menjalani observasi medis. Petugas medis juga memberikan pendampingan psikologis, mengingat banyak korban adalah santri muda yang mengalami syok berat saat insiden terjadi.

Tim SAR sempat menghadapi tantangan besar selama proses pencarian. Struktur bangunan yang tidak stabil dan tumpukan puing yang tebal membuat proses evakuasi berlangsung sangat hati-hati. Penggunaan alat berat dilakukan secara terbatas agar tidak membahayakan korban yang mungkin masih hidup di bawah reruntuhan. Koordinasi lintas instansi menjadi kunci keberhasilan operasi penyelamatan ini.

Pasca-evakuasi, lokasi reruntuhan kini berubah menjadi lautan doa. Warga, santri, dan keluarga korban datang silih berganti, menyalakan lilin, melantunkan tahlil, dan menaburkan bunga di lokasi kejadian. Mereka tak hanya berduka atas kehilangan, tetapi juga mencari ketenangan batin atas musibah yang datang tiba-tiba.

Salah satu relawan menceritakan bagaimana suasana haru kerap menyelimuti proses evakuasi. “Kami bekerja siang malam, dan setiap kali menemukan jenazah, suasananya selalu hening. Semua menunduk, mendoakan, lalu melanjutkan tugas,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Rasa kehilangan semakin terasa di lingkungan pesantren. Aktivitas belajar sementara dihentikan, dan para santri yang selamat dipindahkan ke lokasi sementara. Banyak keluarga korban yang berharap agar tragedi ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak agar lebih memperhatikan aspek keselamatan bangunan di lembaga pendidikan keagamaan.

Dengan berakhirnya proses evakuasi, kini aparat kepolisian mulai memasuki tahap penyelidikan hukum. Polres Sidoarjo bersama tim dari Polda Jawa Timur tengah mengusut tuntas penyebab runtuhnya bangunan musala tersebut. Dugaan sementara mengarah pada adanya kelalaian konstruksi dan ketidaksesuaian izin bangunan.

Pihak kepolisian juga tengah memeriksa dokumen perizinan, spesifikasi material, hingga proses pembangunan yang melibatkan kontraktor dan pengawas lapangan. Polisi menegaskan bahwa penyelidikan akan dilakukan secara transparan, tanpa pandang bulu, guna memastikan keadilan bagi para korban.

Selain itu, Kementerian PUPR disebut turut melakukan audit teknis terhadap struktur bangunan yang tersisa, untuk memastikan apakah penyebab ambruknya bangunan benar-benar berasal dari cacat desain atau kesalahan prosedur dalam pengerjaan.

Di tengah suasana berkabung, muncul pula gelombang solidaritas dari berbagai pihak. Pemerintah daerah, lembaga sosial, dan komunitas masyarakat turut menggalang bantuan untuk membantu para korban dan keluarga yang kehilangan tempat tinggal maupun anggota keluarga. Donasi disalurkan dalam bentuk uang tunai, sembako, hingga dukungan psikologis bagi para santri.

Tragedi ini juga menimbulkan refleksi mendalam tentang pentingnya pengawasan dalam pembangunan fasilitas publik, khususnya pesantren dan lembaga pendidikan berbasis keagamaan. Banyak pihak menilai bahwa regulasi izin bangunan dan standar keselamatan sering kali diabaikan demi efisiensi biaya atau kecepatan proyek. Padahal, bangunan yang menampung ratusan jiwa semestinya dirancang dengan perhitungan struktural yang matang dan diuji oleh tenaga ahli bersertifikat.

Evakuasi Ponpes Al Khoziny memang telah berakhir, namun luka yang ditinggalkan belum sembuh. Dari total 171 korban, 67 jiwa kehilangan nyawa, sementara 104 lainnya berjuang untuk pulih — baik secara fisik maupun batin. Kini, perjuangan berpindah ke ranah hukum dan moral: menuntut pertanggungjawaban, mencari keadilan, serta memastikan tragedi serupa tidak terulang.

Peristiwa ini bukan sekadar catatan duka, tetapi juga panggilan bagi semua pihak — pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat — untuk menegakkan budaya keselamatan dan kepatuhan terhadap standar bangunan. Sebab, setiap bata dan tiang bukan sekadar material, melainkan penopang kehidupan banyak orang.

Leave a reply