Trans7 Meminta Maaf atas Tayangan Xpose Uncensored Yang Menyinggung Pesantren

Trans7 Meminta Maaf atas Tayangan Xpose Uncensored Yang Menyinggung Pesantren
Jakarta | Berita Adikara — Stasiun televisi nasional Trans7 akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi dan menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada publik, khususnya kepada kalangan pesantren, atas tayangan program Xpose Uncensored yang menimbulkan kontroversi luas di masyarakat. Tayangan tersebut dianggap telah menyinggung lembaga pendidikan Islam, terutama Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur.
Melalui unggahan di akun media sosial resminya, Trans7 menyatakan penyesalan mendalam dan mengakui adanya kekhilafan dalam proses produksi dan penyuntingan konten. Tayangan yang dimaksud menampilkan sudut pandang yang dinilai tidak pantas, menyinggung nilai-nilai keagamaan, serta menggambarkan kehidupan pesantren dengan cara yang keliru.
“Kami menyadari adanya kekeliruan dan kurangnya ketelitian dalam proses penyajian materi tayangan tersebut. Untuk itu, kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para kiai, santri, dan seluruh masyarakat yang merasa tersinggung,” tulis Trans7 dalam pernyataan resminya.
Setelah tayangan itu disiarkan, gelombang kritik langsung menyeruak di berbagai platform media sosial. Tagar #BoikotTrans7 menjadi trending topic di X (Twitter) dan Instagram, diiringi dengan ribuan komentar dari santri, alumni pesantren, dan masyarakat umum yang mengecam keras isi program tersebut.
Banyak pihak menilai Trans7 tidak sensitif terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sejumlah organisasi keagamaan, seperti Pagar Nusa dan Nahdlatul Ulama (NU), juga turut menyampaikan keberatan atas isi tayangan yang dianggap merendahkan martabat pesantren.
“Pesantren bukan panggung hiburan yang bisa dijadikan bahan olokan. Di sana ada nilai, ilmu, dan perjuangan yang menjadi dasar lahirnya para ulama besar,” tegas Ketua Forum Mahasiswa Pagar Nusa (FMPN), dalam pernyataan sikapnya.
Reaksi keras juga datang dari para pengasuh pesantren. Mereka menilai media seharusnya mampu menampilkan kehidupan santri dengan sudut pandang yang edukatif dan berimbang, bukan sekadar mencari sensasi atau daya tarik penonton.
Menanggapi kontroversi tersebut, pihak manajemen Trans7 segera melakukan evaluasi internal. Dalam klarifikasinya, mereka menegaskan bahwa tidak ada niat untuk merendahkan lembaga keagamaan mana pun. Namun, mereka mengakui bahwa konten tersebut telah luput dari pengawasan redaksi yang seharusnya lebih ketat.
“Kami berkomitmen untuk memperbaiki mekanisme editorial agar hal seperti ini tidak terulang. Setiap tayangan yang berkaitan dengan lembaga pendidikan, keagamaan, dan budaya akan melalui proses review yang lebih mendalam,” ungkap perwakilan manajemen Trans7.
Sebagai tindak lanjut, Trans7 juga menyatakan akan menarik kembali seluruh konten digital terkait tayangan tersebut dari kanal YouTube dan platform media sosial mereka. Selain itu, stasiun TV ini berjanji akan mengadakan dialog terbuka dengan perwakilan pesantren untuk memulihkan hubungan dan memperkuat pemahaman lintas lembaga.
Kontroversi ini turut menarik perhatian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Setelah melakukan peninjauan, KPI menjatuhkan sanksi penghentian sementara terhadap program Xpose Uncensored.
KPI menilai bahwa tayangan tersebut melanggar sejumlah ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), terutama pasal yang mengatur tentang larangan merendahkan institusi pendidikan dan keagamaan.
Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menegaskan bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga harmoni sosial dan menghormati nilai-nilai luhur bangsa.
“Kebebasan pers tidak berarti bebas tanpa batas. Media harus peka terhadap konteks sosial dan agama. Tayangan yang menyinggung pesantren bukan hanya persoalan etika, tapi juga penghormatan terhadap jati diri bangsa,” ujar Ubaidillah.
Dari berbagai daerah, komunitas pesantren menyerukan agar kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi dunia penyiaran nasional. Para kiai menilai, klarifikasi dan permintaan maaf memang langkah positif, tetapi perlu disertai perubahan nyata dalam kebijakan redaksi dan produksi konten.
Beberapa tokoh pesantren juga mengusulkan agar Trans7 melibatkan penasihat keagamaan atau konsultan budaya dalam proses produksi program yang menyinggung aspek spiritual dan sosial masyarakat.
“Media massa memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik. Karena itu, sangat penting untuk menghadirkan tayangan yang tidak hanya menarik, tapi juga mendidik,” ujar KH. Ahmad Mustofa, salah satu pengasuh pesantren di Jawa Timur.
Kasus ini membuka kembali diskusi publik mengenai etika jurnalistik dan tanggung jawab sosial media televisi. Di tengah kompetisi rating dan arus digital yang begitu cepat, sensitivitas terhadap nilai budaya dan agama sering kali terabaikan.
Klarifikasi Trans7 menjadi momentum reflektif bagi semua media untuk lebih berhati-hati dalam memproduksi konten, terutama yang menyangkut lembaga pendidikan, keagamaan, dan adat istiadat. Ke depan, diharapkan dunia penyiaran Indonesia mampu menyeimbangkan antara kreativitas, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur bangsa.
Klarifikasi dan permintaan maaf Trans7 menunjukkan adanya itikad baik untuk memperbaiki diri. Meski demikian, masyarakat berharap langkah itu tidak berhenti pada pernyataan publik, melainkan diwujudkan dalam perubahan nyata di ruang redaksi dan produksi.
Kejadian ini menjadi pengingat bahwa media bukan sekadar alat hiburan, tetapi juga pilar pendidikan sosial dan moral bangsa. Dengan sikap introspektif dan dialog terbuka antara media dan masyarakat pesantren, diharapkan ke depan hubungan keduanya dapat kembali harmonis — saling menghormati, saling memahami, dan bersama membangun ruang publik yang sehat serta berkeadaban.